PROLOG.
"Kisah apa yang ingin kamu ceritakan hari ini, Jani?"
Aku menengadah menatap langit biru yang selalu nampak cerah ketika Ibu berada dirumah. Seakan kehadiran Ibu selalu menjadi penyemangat utama untuk matahari bersinar terik diatas kepala.
Sekilas info, Ibu lahir dari kemarau yang berkepanjangan. Gelap yang membutakan. Lara yang memabuk-kan. serta kalut yang sembunyikan.
Ibu bukan perempuan sempurna. Bersama luka dan air mata-nya, Ibu tumbuh bersama rasa bersalah yang mendalam hingga pada akhir hayat-nya pun beliau 'tak pernah berhenti meminta maaf.
Untuk Ibu, melahirkan ku adalah sebuah bayaran atas hutang-hutang yang sudah berbunga pada jaman muda-nya sementara bagi-ku, dilahirkan oleh ibu adalah sebuah aib yang selalu ku bangga-banggakan.
"Apa yang terjadi pada Ibu, Jani?"
Ibu jatuh cinta. Ibu terpesona pada kedermawanan seorang lelaki yang tidak cukup bertanggung jawab.
Ibu bertemu Tuan ketika umur-nya masih sangat muda sementara Tuan sendiri sudah terlalu dewasa untuk dikatakan bisa bermain dengan anak kecil seperti Ibu, mungkin dengan paras cantik-nya Ibu memang mampu membuat siapapun bertekuk lutut demi mendapatkan anggukan kepala-nya sehingga begitu Tuan memuja-nya pun Ibu tidak begitu terkejut.
Namun Ibu malah jatuh terlalu dalam. Terlalu dasar. Terlalu lembap. Sampai Ibu sendiri lupa bagaimana cara-nya bernafas atau meminta pertolongan. Bagi Ibu, satu-satunya orang yang mampu merengkuh-nya di dasar jurang itu hanya Sang Tuan.
Sial-nya, ada tali 'tak kasat mata yang di genggam oleh Tuan. Sangat erat. Sementara satu tangan yang lain tetap memeluk Ibu—juga dengan erat. Seakan, Tuan tidak ingin kehilangan keduanya.
"Tali itu... Sekasat mata itu sampai Ibu pun tidak menyadari-nya?"
Apa yang kamu harapkan dari wanita ketika dia sedang jatuh cinta? Bahkan seluruh indra-nya ikutan tidak berfungsi pada saat itu.
Bagi Ibu, jatuh cinta pada Tuan seperti sebuah perjudian yang tidak adil. Demi memenangkan segalanya, Ibu rela kehilangan semuanya. Harta, akal, mental, tubuh, darah, bahkan sampai ke tulang sendiri pun Ibu jadikan persembahan agar Tuan tidak pergi kemana-mana.
Namun pada akhirnya, Ibu rugi banyak. Ternyata selama perjudian berlangsung, Tuan tidak bertaruh apapun. Tidak—bahkan seujung potongan kuku milik-nya sekalipun. Tuan hanya menerima segala bayaran dari Ibu tanpa mampu memberikan hadiah paling besar. Yaitu sehidup-semati.
"Jadi, Ibu berhutang banyak hanya demi bisa hidup selamanya bersama Tuan?"
Tidak, Ibu tidak berhutang. Tuan lah—yang meminjam banyak namun Tuan juga lah yang tidak sanggup membayar-nya sehingga dari segala konsekuensi yang ada, Ibu terpaksa bertanggung jawab demi perjudian yang dilakukan oleh dirinya dan juga Tuan.
"Itu tidak adil-kan, Jani?..."
Seperti kata ku, mencintai Tuan adalah perjudian yang paling tidak adil untuk Ibu.
Setelah kehilangan segalanya, Ibu dipaksa membayar sejumlah hutang yang cukup besar—yaitu melahirkan ku. Usia-nya masih sangat muda ketika harus ditendang keluar sendirian bersama perut yang kian membesar. Namun karena kasih serta sayang-nya pada Tuan, Ibu tetap memutuskan untuk melahirkan ku.
Untuk Ibu, melanjutkan hidup bersama dengan ku seperti berjalan di padang pasir sembari menggenggam separuh jiwa Tuan dalam raga anak kecil. Sifat kepedulian-nya kadang berlebihan bahkan sampai pada batas menyebalkan, seakan habis sudah sisa hidup Ibu jika akupun pergi meninggalkan-nya.
Lima sampai sepuluh tahun, aku dipaksa mengerti dengan kondisi Ibu yang jatuh bangun. Pura-pura tuli saat mendengar suara asahan pisau setiap malam hanya demi bisa di tikam ke dada-nya sendiri saat dia berfikir aku sedang tertidur pulas. Maka dari itu, aku pun sama.
Aku pun... Ikut dibesarkan bersama rasa bersalah yang 'tak kunjung selesai.
"Jani, itu artinya Ibu tidak pernah menganggap mu sebagai darah daging-nya sendiri?"
Aku tidak tahu. Aku takut untuk bertanya. Yang pasti, Ibu membutuhkan waktu sampai hembusan nafas-nya yang terakhir hanya untuk berkata bahwa dia mencintai ku.
Atau mungkin, hari itu aku sudah sadar bahwa Ibu tidak pernah benar-benar menganggap ku sebagai buah hati-nya. Segala hal yang berhubungan dengan ku maka harus berhubungan juga dengan Tuan.
Rinjani Mahaeru Yanuar adalah sebuah nama yang dia berikan untuk ku karena diambil dari nama gunung kesukaan-nya serta gunung kesukaan Tuan. Gunung Rinjani yang selalu menjadi tempat favorit Ibu serta Gunung Semeru yang pernah dijadikan destinasi pelarian Tuan saat masa muda-nya dulu.
"Rinjani, sakit sekali aku mendengar-nya."
Belum seberapa, tolong dengar lebih jauh dulu.
Hari ini, aku akan menceritakan kisah tentang Ibu ku.
Komentar
Posting Komentar