2
Waktu Bersama Ibu.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang ketika aku turun kebawah untuk mendapati kamar Ibu yang masih tertutup rapat tanda bahwa Ibu belum bangun dari tidur panjangnya. Mungkin Ibu benar-benar butuh istirahat karena biasanya tidak sesiang ini untuk mendapati Ibu sudah bermain dengan dua kucing peliharaanya.
Aku membuka pintu belakang yang langsung menghubungi dapur dengan taman belakang tempat kemarin mengobrol dengan Semesta, diikuti dengan kedua kucing putih milik Ibu yang mengikuti karena melihat ku membawa setoples makanan milik mereka, aku berjongkok untuk menuang secukup-nya di tempat makan milik mereka sebelum akhir-nya kembali duduk bersandar pohon cukup besar dibelakang rumah seperti kemarin.
Sabtu siang yang sangat sepi sedikit mengganjal untuk ku karena entah kenapa dari dulu aku justru tidak menyukai hari libur seperti ini yang memaksa ku bertengkar dengan pikiran sendiri—orang-orang biasanya lebih menyukai hari libur kan? Karena hanya di hari ini mereka bisa menghabiskan waktu dengan orang-orang kesayangan.
Namun tidak dengan ku.
Meski akan menghabiskan waktu bersama dengan Ibu pun aku merasa seperti sendirian, seperti ada ruang kosong yang hanya terasa hampa di hari libur seperti ini.
"Wahai Semesta."
Aku enggan sendiri jadi lebih baik ku panggil teman mengobrol ku itu.
"Jani, Ibu mu mungkin tak bangun."
"Brengsek. Jangan konyol."
Aku merasakan angin kencang menampar sisi kanan wajah ku yang langsung membuatku memalingkan wajah. Semesta pasti masih marah karena pembicaraan kita kemarin tapi bercanda soal hidup dan mati Ibu bukanlah sesuatu yang lucu.
"Ada apa gerangan kau memanggil ku tengah hari bolong seperti ini?"
Aku menghela nafas, mau sedongkol apapun perasaan ku pada Semesta tetap saja dia adalah satu-satunya teman berbicara yang bisa membuat ku tenang disaat-saat seperti ini.
"Tidak ada, hanya tidak mau sendirian."
"Kau selalu begitu, Jani. Tidak kah aku hanya sedang dimanfaatkan oleh mu?"
Kadang aku bingung akan hubungan seperti apa yang Semesta inginkan bersama ku, padahal 16 tahun yang lalu pertemuan ku dan Semesta seperti takdir yang dipaksakan oleh-nya. Seperti aku dan Semesta tidak seharusnya mengobrol dengan santai seperti sekarang dan perasaan bingung itu terus menyeruak hingga aku tidak pernah mempertanyakan-nya lagi setelah sekian tahun menjadi akrab dengan-nya.
"Aku tidak memanfaatkan siapapun. Tapi Ibu belum bangun dan hari ini aku akan bersama dengan-nya jadi tolong jangan ganggu dulu."
Ada jeda yang lumayan panjang hingga sebagian isi perut ku yang sebenarnya kosong itu mulai naik ke atas tenggorokan. Semesta tau aku tidak suka sunyi yang berkepanjangan tapi biasa-nya Semesta melakukan ini karena ada sesuatu yang dia tahan. Yang tidak berani dia ucapkan.
"Wahai Semesta, menurut mu bagaimana kehidupan Ibu sebelum memiliki ku?"
Pada akhirnya aku tahu Semesta memiliki vokal yang cukup frontal. Tapi ketika ada jeda panjang itu pasti dia sedang menahan diri untuk tidak bersuara dan bercerita lebih jauh. Lebih baik jika ku pancing dia di saat-saat seperti ini karena memang meski sudah lama hidup bersama dengan Ibu aku tetap tidak mengetahui siapa Ibu sebenarnya. Dari mana asal-nya, bagaimana dia bertahan hidup sampai sekarang, bahkan sampai ke orang tua-nya pun aku tidak tahu menahu.
"Hei Manusia, kamu memojokkan ku dengan pertanyaan yang dungu."
Aku mengangkat bahu, selalu berpendapat bahwa Semesta bisa melihat gerak-gerik ku juga.
"Aku tidak perduli, aku hanya mau tahu."
"Dan kau kira aku punya jawaban-nya?"
Aku melirik tajam kearah atas, memberikan tatapan mengancam dengan harapan Semesta akan ketakutan.
"Dan kau kira aku akan berhenti mencari tahu?"
Langit siang itu tidak begitu terik namun kapas putih mengemasi dengan sangat apik sampai setelah pertanyaan itu ku kumandang-kan tiba-tiba saja mulai datang gerombolan awan abu yang membuat pandangan rusak. Kenapa? Apakah Semesta marah?
"Manusia, sejatinya rasa ingin tahu adalah sifat alami kalian tapi kelewat batas bisa saja menggoreskan luka yang tidak engkau inginkan."
Suara gerumulan petir tiba-tiba saling bersahutan dari datang-nya sekumpulan awan abu-abu itu, sekejap ketika ingin ku balas perkataan Semesta dengan debat yang melawan turunlah rintik gerimis kecil namun ukuran airnya lumayan besar. Belum aku sampai ke dalam rumah yang padahal jarak-nya tidak terlalu jauh dari tempat ku duduk bersantai tadi, aku sudah setengah basah.
"Jani.."
Aku mendongak saat sedang menepuk seluruh baju yang basah merembes ke kulit, Aneh. Padahal itu hanya gerimis tapi Semesta seakan sengaja demi membuat ku diam pun dia ciptakan hujan air yang sedikit namun berukuran besar demi menghukum ku yang kelewat batas.
"Bukankah hari ini seharus-nya tidak hujan?"
Itu adalah suara Ibu yang baru keluar dari kamar bersama mata-nya yang sembab entah karena kurang tidur atau menangis semalaman. Sialan, aku mengaduh dalam hati. Sepertinya semalam, karena sudah terlalu lelah, aku naik dan beristirahat lebih cepat dibanding biasa-nya sehingga tak sempat mendengar isak tangis Ibu.
"Seharus-nya.."
Bisik ku sembari melihat ke arah luar pintu kaca penghubung dapur dan taman belakang itu. Ku lihat gerimis kecil berubah menjadi hujan yang turun membasahi seluruh bumi.
"Apa sesuatu terjadi?"
Ibu bersuara sangat pelan seakan takut menyinggung ku sementara aku segera menoleh ke arah-nya dan tersenyum tipis.
"Tidak ada. Aku hanya sedang bermeditasi diluar dan telat masuk ke dalam."
"Apa kamu baru sadar saat hujan sudah membasahi setengah badan mu?"
Pertanyaan Ibu ku jawab dengan anggukan.
"Aku akan mandi dan bersiap. Ibu bersantailah dulu."
Aku berjalan melewati Ibu dan berniat menaiki tangga menuju kamar namun sentuhan lembut dari tangannya terjatuh dipergelangan tangan ku, membuat ku berhenti dan menoleh hanya untuk terlempar pada pelukan hangat-nya. Aku mengerjap berkali-kali dengan wajah yang tenggelam di dada-nya karena meski sudah melewati usia remaja tinggi ku masih belum bisa menyamai Ibu.
Ibu memiliki perawakan yang sangat kokoh. Dia berdiri bak tembok besar yang mengelilingi rumah. Tingginya mungkin sekitar 170cm lebih dan memiliki bentuk tubuh yang lumayan sintal untuk seusianya. Tapi Ibu tidak berisi, dia seperi perempuan seksi pada umumnya yang bukan kurus kering melainkan penuh dengan otot dan kekuatan.
Mungkin Ibu saat muda adalah perempuan yang menyukai pekerjaan keras sehingga seluruh badannya terbentuk setegak tiang, meski begitu semua yang Ibu miliki tidak membuatnya jadi kelihatan jelek atau maskulin. Malah sinar Ibu terpancar karena seluruh hal yang dia miliki dari fisiknya.
"Jani, Tolong jangan sembunyikan apapun sendirian."
Ibu berbisik sembari mengusap punggung dan mendaratkan kecupan singkat diatas puncak kepala ku.
Hah...
Aku ternyata sudah mulai lupa bagaimana rasanya hidup terbelenggu dekapan Ibu yang sangat hangat, seperti kembali ke rumah lama yang kian reyot namun kan terus abadi sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
"Ibu juga, jangan sembunyikan apapun."
Setelah perkataan ku, aku hanya mendengar nafas Ibu yang satu-satu. Seperti menahan tangis.
"Jani mohon..."
....
Aku pergi makan siang dengan Ibu.
Dalam perjalanan menuju tempat biasa kami menghabiskan waktu, Ibu nampak duduk di kursi penumpang dengan perasaan yang baik. Dia terus bersenandung lagu yang selalu menjadi kesukaannya sejak dulu, jika tak salah ini adalah lagu yang menemani Ibu semasa muda-nya.
Ibu selalu bercerita kalau didalam lagu ini dia selalu menyimpan banyak orang, termasuk aku. Meski aku pribadi tidak begitu mengerti apa makna dari lagu yang Ibu sukai ini—karena terlalu rancu. Jika ku telusuri, banyak orang yang bilang bahwa ini adalah lagu kerinduan untuk seseorang yang sudah tiada sementara untuk Ibu lagu ini adalah untuk menggambarkan kerinduan untuk semua orang yang pernah pergi dalam hidupnya.
"Tapi Jani belum pergi, Bu."
Ibu selalu tersenyum ketika aku menjawab seperti itu lalu berkata,
"Tidak semua orang memiliki pemahaman yang sama soal kepergian, menurut Ibu pun begitu."
Usia ku masih sembilan tahun kala itu hanya bisa memiringkan kepala tanda tidak mengerti sembari mendongak menatap Ibu yang sedang memperhatikan tukang kebun merapihkan rumput belakang rumah.
"Manusia bisa pergi kapan saja, Jani. Entah karena waktu atau—
Ibu menunduk untuk menatap ku yang sedang duduk dipangkuan-nya. Sialnya, hari itu yang bisa ku ingat hanya paras jelita Ibu sehingga kata-kata selanjut-nya yang Ibu katakan pun aku tidak dengar. Wajah Ibu saat itu seperti menghipnotis ku agar terjerumus dalam belaian indah-nya. Beliau bagaikan sebuah dewi yang dengan satu kedipan mata saja sanggup membuat seluruh orang bertekuk lutut tanda menyerahkan diri dihadapan-nya.
Bahkan pada anak-nya sendiri pun, itu memiliki efek yang cukup dalam.
"Jani?"
Aku berdehem untuk menjawab Ibu yang sedang mengeluarkan sebatang tembakau dari bungkus-nya, ritual sehabis makan.
"Apakah sekolah mu baik?"
Aku mengangguk, saat ini aku baru saja masuk dunia perkuliahan. Akibat seluruh kerja keras yang Ibu lakukan selama hidup-nya, aku mampu masuk ke kampus internasional yang cukup terkenal dan perlahan mengeksplor pertemanan antar negara dengan sangat cepat.
Meski begitu, belajar dari apa yang selalu Ibu pesan-kan, aku tetap berusaha untuk memilah mana dan siapa yang harus benar-benar ku percaya. Sehingga sampai detik ini teman baik ku hanya si seluruh raja alam, Semesta.
"Belajar lah yang benar. Terkadang ada beberapa hal yang harus kamu prioritaskan selain diri mu sendiri."
Aku mengeluh dengan wajah muram,
"Ibu sangat plin-plan, Ibu selalu bilang aku harus memikirkan diri ku sendiri saat kewalahan belajar dan selalu bilang memikirkan hal lain ketika aku kelihatan santai. Apa yang harus ku pilih?"
Tawa keras Ibu pertanda bahwa wanita itu benar-benar tergelitik.
"Entahlah. Kadang memang memantaskan diri pada setiap situasi itu adalah sebuah keharusan."
Aku membuka bungkus baru ketika Ibu menyelesaikkan batang pertama-nya yang selalu dia hisap perlahan sembari menikmati secangkir kopi kesukaan. Sejak dulu, aku selalu percaya Ibu adalah Ibu ku meski entah siapa yang menghamili-nya kala itu. Karena dari beberapa watak dan sikap kami, aku selalu merasa seperti bercermin.
Ibu memiliki hawa yang sangat hangat ketika berada di dekat ku sehingga aku selalu merasa seperti sebuah tungku yang berusaha untuk menjaga seluruh lingkaran tetap dalam suhu yang pas. Kami saling melengkapi dengan kesukaan yang sama hanya satu hal dari aku dan Ibu yang berbeda.
Makanan kesukaan...
Ibu bisa makan apapun sementara aku memilih tapi Ibu hanya bisa makan di tempat tertentu sementara aku sendiri bisa makan di semua tempat.
Ibu bisa memilih hanya satu dari 10 tempat makanan pinggir jalan tapi bisa memiliki lebih dari 100 rekomendasi restoran kelas atas, aku bisa dibilang lebih sederhana dari Ibu ku sendiri yang padahal membesarkan ku dengan gelimang hal mewah.
"Apakah Ibu besar bersama uang?"
Aku bertanya dengan mata lurus menatap ke arahnya. Ibu memang memiliki mata yang sangat kecil. Sipit seperti kucing sehingga banyak orang suka salah paham kalau wajah diam Ibu adalah wajah marahnya padahal Ibu orang yang sangat lembut—aku tidak ingat kapan dia pernah memarahi ku bahkan ketika aku kecil.
"Tidak juga tapi Ibu tidur tanpa kehujanan dan kepanasan hari itu. Kenapa?"
Aku menggeleng mendengar pertanyaan Ibu,
"Hanya... Aku selalu merasa Ibu bekerja terlalu keras..."
Aku tahu Ibu masih kelelahan dan banyak yang di pikirkan. Umurnya mulai masuk kepala empat dan kerutan halus mulai terlihat disekitar dahinya meski hal itu tidak pernah mengganggu kecantikan yang Ibu miliki.
"Jani."
Ibu nampak menangkupkan kedua tangannya di dagunya sendiri sembari menatap ku,
"Ingatlah jika Ibu saat ini bukan hanya Ibu untuk mu. Namun juga seorang Ayah yang bekerja keras menghidupi anaknya."
Aku mengerutkan alis. Tidak menyukai pembicaraan ini.
"Aku tahu, Bu. Hanya—
"Semua hal yang terus kau pertanyakan dan kau jawab atas dasar kepuasan mu sendiri nantinya akan melukai mu. Jadi berhentilah melakukan hal itu."
Aku mengerjap,
"Wahai Manusia, sejatinya rasa ingin tahu adalah sifat alami kalian tapi kelewat batas bisa saja menggoreskan luka yang tidak kamu inginkan."
Itu... Semesta..
Aku menutup kuping ku dan merunduk bagai orang yang dikagetkan suara ledakan jarak dekat, secara horor badan ku bergetar hebat dari ujung kaki sampai ujung kepala. Suara Semesta tadi siang seperti mengaum di batas kesadaran namun aku tahu saat ini bukanlah Semesta yang meneriaki ku namun ingatan tentang apa yang baru saja dia katakan siang ini entah kenapa seperti sama persis artinya seperti apa yang baru saja Ibu katakan.
"Jani?"
Aku yakin Ibu khawatir. Karena dengan posisi begitu, Ibu pasti sama terkejutnya melihat reaksi ku yang diluar prediksinya.
"Rinjani?!"
Aku dengar, Bu. Aku dengar!
Batin ku berteriak berusaha mengalahkan suara Semesta yang terus memenuhi seisi gendang telinga. Tapi entah sekuat apa aku berusaha melawan, seperti ketakutan aku mencoba menyembunyikan diri ku sendiri dengan merunduk lebih dalam diantara meja dan badan ku sendiri.
"Rinjani!? Kamu kenapa!?"
Tidak tahu! Sungguh aku tidak tahu!
Aku takut. Aku hanya ketakutan. Seumur hidup perasaan ini pun tidak pernah mengusik hati ku bahkan sampai menjadi-jadi ingin melarikan diri dari tempat ini secepatnya. Seluruh makanan yang baru saja ku makan tadi seperti merasuk ke atas tenggorokan, memaksa keluar dari tempatnya bahkan sebelum disaring dengan benar tapi dengan setengah sadar aku berusaha untuk melempar tubuh Ibu ke samping dan berlari sekuat tenaga menuju wastafel terdekat.
Saat itu, terserah siapapun yang mau melihat jijik karena aku secara serakah memuntahkan seluruh isi perut yang pasti aku tidak tahan dengan rasa mual berlebihan itu. Ibu bahkan berhenti berteriak, dia hanya berusaha memijat tengkuk ku dan memegangi rambut panjang ku berusaha meminimilasir pergerakan yang akan membuat seluruh tubuh ku kotor karena muntahan.
Setelah selesai dengan urusan menjijikan itu, aku baru berani mendongak dan mendapat kesadaran lagi untuk bisa melihat Ibu lewat kaca di hadapan ku. Memantulkan refleksi Ibu yang sedang menatap ku penuh kekhawatiran dan—entah kenapa juga penuh pilu..
Ibu, ada apa dengan tatapan mu itu? Kenapa melihat ku sekarang seperti mengingatkan mu dengan sesuatu?
Aku mengusap air mata yang keluar sebelum membasahi pipi dan berbalik.
"Ibu, maaf. Aku—
"Ibu mengerti."
Ibu hanya mengusap punggung ku. Dalam sekali ucap bagaikan mantra beliau sanggup membuat ku tenang dan seluruh kebisingan dikepala sekejap menghilang. Aku tidak tahu apakah Ibu mengerti maksud ku atau tidak tapi barangkali Ibu seperti ditarik kembali ke masa lalu sehingga tanpa perlu seluruh penjelasan pun dia hanya mencoba membuat ku tenang.
Hari itu, tidak seperti biasanya Ibu menyetir untuk perjalanan pulang. Dengan tenang dan aman, dia hanya sesekali bersenandung sambil memutar lagu-lagu jazz kesukaannya.
Bahkan ketika sampai dirumah Ibu menyuruh ku segera naik ke kamar dan istirahat hingga aku pun menurut tanpa bertanya, lalu tak keluar dari kamar sampai besok paginya.
Komentar
Posting Komentar