1

Obrolan Pertama.

"Pernahkah kau bayangkan pertemuan pertama kita hari itu, Jani?"

Aku sedang duduk dibelakang rumah bermatras rumput-rumput lembut yang sengaja di tanam oleh Ibu untuk bisa bermeditasi seperti apa yang sedang aku lakukan saat ini dan itulah saat ketika ada bisikan lembut ditelinga yang sudah ku hafal betul siapa pemilik suara itu.

Itu Semesta.

Mari ku kenalkan, Semesta ialah Semesta yang kamu bayangkan. Jika bertanya bagaimana wujud-nya aku pun tidak tahu. Dia selalu hadir sebagai suara, teriakan di dalam kepala, atau bahkan bisikan lembut yang bisa membuat jantung ku berdebar. 

Aku menggambarkan Semesta sebagai apa yang ada di muka bumi ini.

Daun yang gugur dari pohon, batang runcing yang baru selesai di potong, angin pantai yang berhembus lembut, debaran ombak yang menyejuk-kan telinga, panas sinar matahari di jam 12 siang, kerlipan genit bintang-bintang saat cuaca sedang cerah, atau bahkan hujan badai yang merobohkan rumah-rumah.

Itulah Semesta.

Anggap aku gila tapi kira-kira umur ku baru menginjak 4 tahun saat Semesta mulai mengeluarkan suara-nya. Meledek ku yang tersesat kehilangan arah pulang. Semesta tidak jahat, hanya saja karakteristik-nya memang tidak senang jika melihat orang lain hidup dengan tenang.

Dia selalu hadir ketika aku sendirian, kadang juga saat aku sedang kalut dengan pikiran meski di sekitar ada banyak orang. Apakah aku menjawab menggunakan kebisingan mulut? Tentu tidak, Bahkan berbisik dalam hati pun Semesta entah kenapa bisa menjawab. Itu yang membuat ku kesulitan untuk memaki-nya. 

Awal-nya, aku bercerita pada Ibu soal suara-suara yang ku dengar dari Semesta. Namun Ibu selalu menganggap ku memiliki teman imajinasi hingga pada saat aku mulai lelah menjelaskan pada Ibu, aku pun berhenti bercerita. Aku menyimpan Semesta tepat di bagian memori yang paling dalam di isi kepala ku. Ku tutupi kehadiran-nya dari orang sekitar meski ku tanya pada teman-teman soal hal serupa pun mereka selalu menganggap aku hanya kelelahan.

Manusia mana yang kelelahan sampai 16 tahun?

Tidak masuk akal memang tapi di sini, aku ingin menceritakan pertemanan tidak masuk akal ku ini dengan Semesta.

"Terbayangkan oleh ku, Semesta. Namun kenapa tiba-tiba pertanyaan itu engkau jadikan sapaan halus di pagi yang tenang ini? Adakah hal yang mendesak yang ingin kau sampaikan?"

Aku tahu Semesta sejatinya ialah sombong dan angkuh. Jika tak begitu penting, Semesta enggan mengajak bicara terlebih dahulu sehingga aku kian penasaran apa yang sedang ingin disampaikan olehnya hingga pertanyaan aneh itu terbawa angin dan masuk ke telinga.

"Ya, tiba-tiba aku ingat hari di penghujung ajal mu."

Semesta seperti berbicara dengan saudaranya. Bercanda soal kematian seakan itu bukanlah sesuatu yang serius tapi aku tak begitu terkejut. Semesta memang senang bercanda dengan nada sarkasmenya.

"Malu kah engkau jika mengingat itu kembali?"

Aku menghela nafas dalam. Entah apa yang Semesta inginkan tapi ini sungguh mengganggu ketenangan pagi yang ku dambakan.

"Tidak juga. Menurut ku hari itu adalah perjalanan hidup serta takdir ku agar dipertemukan dengan mu. Merasa sial kah kamu hari itu menyelamatkan ku dari penghujung kematian ku sehingga kamu harus repot-repot mengusik pagi indah ku?"

Selepas pertanyaan itu tiba-tiba angin berhembus sangat kencang hingga daun-daun gugur berjatuhan dari pohon rindang yang sengaja Ibu tanam di sana agar tidak mengganggu aktifitas meditasinya dari sinar matahari terik. Hembusan angin yang cukup kencang itu cukup membuat ku membuka mata dan mendongak.

Menantang.

Apakah Semesta juga menghela nafas kencang setelah mendengar pertanyaan ku barusan?

Aku mengubah cara duduk jadi meluruskan kaki kedepan dan bertumpu dengan kedua tangan sedikit condong kebelakang, masih mendongak menatap langit yang sangat cerah pada pagi itu.

"Wahai Semesta, tahukah kamu betapa rindunya aku pada Ayah?"

Lima menit ku tunggu bisikan halus jawaban dari yang ku ajak bicara namun benar-benar nihil. Sepertinya Semesta tidak tahu—lebih tepatnya tidak mau tahu karena pembicaraan ini berulang terus setiap harinya.

"Keliru kah perasaan ini? Mengapa aku bisa merindukan beliau padahal melihat wajahnya saja aku tak pernah?"

Aku memejamkan mata perlahan demi menguatkan diri. Karena sesungguhnya tiba-tiba saja dada ini cukup sesak bila mengingat hal-hal yang tidak sepantasnya di ingat.

"Hei, Jani."

Aku membuka mata namun langsung menyipitkannya lagi karena sinar matahari tiba-tiba saja mengintip dari balik awan demi bisa langsung menembak ke bola mata ku.

"Jawablah, Semesta."
"Tidak perlu ku jawab tapi pernahkah kamu pergi jauh lalu tiba-tiba meraung mencari ku padahal mengetahui wujud ku saja kamu tidak tahu?"

Aku terdiam sesaat.

Semesta benar.

Aku memang sering sekali meneriakkan nama Semesta demi bisa ditemani menangis, ditemani marah, ditemani bahagia. Padahal aku mengetahui wujud dari Semesta saja tidak. Bisa ku bayangkan bagaimana sosoknya saja tidak pernah.

"Kenapa pertanyaan itu harus kau tanyakan padahal realisasinya sudah engkau temukan?"

Aku mengangkat alis ku sedikit bingung dan menjawab,

"Realisasi apa?"
"Hubungan kita. Realisasi itu adalah kita berdua."

Tidak tahu kenapa tapi aku merinding setelahnya dan Semesta tidak terdengar ada disekitar lagi. Sepi itu sejujurnya menyiksa ku sehingga segera ku kemas barang-barang yang ku bawa di sekitar dan menepuk belakang celana takut-takut ada rumput yang menempel sebelum akhirnya masuk kedalam rumah.

Setidaknya, masih ada atap yang bisa membuatku terasa aman.

...

"Sudah tiga hari Ibu pulang larut malam."

Aku baru menutup pagar sembari berkomentar melihat Ibu yang turun dari mobil membawa sehitam kantong mata diwajahnya. Terlihat layu dan muram namun Ibu tetap kelihatan cantik di usianya yang sudah mulai senja.

"Ya, pekerjaan tidak bisa di tunda. Apakah Jani sudah makan?"

Aku mengangguk. Rasanya sudah terbiasa hidup mencari makan dan tidur sendirian setelah beranjak dewasa karena Ibu menghabiskan separuh waktunya di tempat kerja, meski begitu disaat-saat senggangnya Ibu selalu sanggup membayarkan seluruh waktu yang sudah tersita oleh kesibukannya dengan selalu berada di sisi ku.

Terkadang aku heran apakah Ibu tidak lelah menghadapi kehidupan karirnya yang terus menanjak tanpa ada satupun turunan demi membuatnya bisa rehat sebentar?

"Tidak perlu memaksakan diri saat kelelahan, tidur lah yang cukup."

Ibu mengusap puncak kepala ku sembari masuk kedalam rumah bersama. Perkataan ku barusan hanya dibalas oleh tawa kecil khas seorang ibu. Rasanya sekarang—pada momen-momen seperti ini, pribadi kami jadi terbalik. Aku jadi lebih mirip seperti orang tua yang sedang mengomeli anaknya dan Ibu adalah anak yang sedang diomeli oleh orang tua-nya.

"Jani, Ibu besok libur. Bolehkah Ibu tidur sampai siang sebelum membawa mu jalan dan makan diluar?"

Ibu duduk diatas sofa masih dengan setelan kantor-nya. Matanya sayu sekali akibat jangka panjang menatap radiasi layar laptop saat di kantor maupun di rumah. Sebagai jawaban dari pertanyaan Ibu, aku mengangguk dan duduk di samping-nya.

"Aku akan menyetir untuk Ibu besok. Pergilah tidur sampai siang, bahkan jika tidak bangun aku tidak akan sungkan untuk membiarkan mu beristirahat sampai Ibu terbangun sendiri."

Ibu kembali tertawa kecil mendengar celotehan ku.

"Jangan begitu, Jani. Kamu yang paling tahu kalau batas istirahat Ibu adalah saat sinar matahari mulai memaksa masuk ke dalam jendela kamar."

Aku hanya mengangkat bahu mendengar-nya.

Menurut ku Ibu adalah orang yang hebat.

Dia membesarkan ku sendirian beserta dua kucing peliharaan-nya yang sekarang mulai beranak pinak. Ibu juga pasti kehilangan setengah dari masa muda-nya demi membiarkan ku hidup serta mengajari ku hal-hal umum sebagai manusia.

Tapi persoalan itu, Ibu tidak pernah mengeluh...

Ibu jarang terlihat suram dihadapan ku..

Ibu adalah sosok yang selalu kelihatan tegak bahkan saat dia harus sendirian menghadapi pertanyaan soal Ayah dari orang tua lain di sekolah ku.

"Ah, Ayah Jani sudah meninggal."

Ibu biasanya menjawab dengan nada yang lumayan ramah dengan senyuman bibir dan mata-nya. Kelihatan cantik dan mengintimidasi sehingga setelah itu tidak akan ada yang berani bertanya sekali lagi kemana kah Ayah Rinjani sebenarnya?

"Ibu tidurlah di kamar."

Aku sekali lagi berkomentar selepas melihat Ibu mulai memejamkan mata-nya, kelihatan sangat kelelahan namun setelah mendengar aku bersua dia segera menegakkan tubuh-nya dan berpura-pura segar. Aneh. Padahal yang sedang dia hadapi adalah darah dagingnya sendiri lalu mengapa Ibu masih harus memakai topeng-nya seperti itu? Aku sungguh tidak masalah melihat Ibu yang selalu tersenyum dan tertawa lepas di luar rumah namun menurut ku ini sudah menjadi tempat paling aman untuk-nya mengeluh.

"Ibu akan ke kamar. Bagaimana dengan Jani?"

Aku membantu Ibu dengan mengambil tasn-ya yang berat itu entah apa isinya tapi aku yakin lebih dari separuh dunia Ibu berada didalam tas yang sudah dia pakai bertahun-tahun tanpa pernah kelihatan rusak dan usang. "Aku akan kembali ke kamar juga dan istirahat. Ayo."



Komentar

Postingan Populer