3

Rinjani Anak Baik.

Aku dari dulu tidak pernah suka keramaian.

Entah darimana itu aku dapatkan tapi selama berada di tempat yang cukup ramai aku terbiasa untuk menarik diri dan berhenti menonjol diantara semua orang. Aku hanya bergaul dengan beberapa orang, itupun ada alasannya. Berikut karena harus menambah relasi akan kesenjangan masa depan dan yang lain karena basa-basi semata agar hidup ini tidak dikelilingi teriakan dari musuh.

Sehari-hari aku hanya melakukan kegiatan monoton. Pergi ke kampus dan pulang demi mengerjakan satu dua tugas di rumah atau kadang mampir ke kedai kopi di daerah kota.

Sebenarnya itu kedai kopi milik teman Ibu, namun Ibu sering mengajak ku main kesana jika ada waktu dan bertemu dengan teman Ibu. Aku kadang tidak mengerti apakah Ibu memiliki beberapa kontribusi pada kedai kopi tersebut karena mereka berdua sering sekali mengobrol soal kelangsungan bisnis.

Aku tidak begitu tahu cerita soal mata pencarian Ibu.

Tidak pernah bertanya dan tidak terlalu begitu perduli soal apa yang Ibu lakukan demi tetap membiarkan kami berdua hidup.

Saat ini aku duduk menumpu dahi diatas meja ruang tamu, duduk beralas karpet berbulu dengan kepala seperti dikelilingi burung gagak diatasnya. Laptop dihadapan ku menyala terang benderang seperti berteriak minta segera dimatikan karena sudah seharian penuh menyala tanpa pernah diberi istirahat.

Minggu depan sudah mulai ujian semester lagi dan beberapa pelajaran susah tersangkut di otak akibat terlalu banyak pikiran.

Sejujurnya, semua ini tetap tentang kejadian hari itu.

Saat dimana aku seperti kerasukan dihadapan Ibu.

Sebenarnya apa itu..

Aku menghela nafas gusar entah untuk yang keberapa kalinya. Pikiran semata tentang perasaan yang ku alami saat itu masih belum tergambar dengan jelas, padahal sudah lewat hampir satu bulan lamanya namun bayangan soal rasa sesak dan takut hari itu seakan masih bisa ku ingat.

"Apa-apaan.."

Aku menendang angin dibawah meja tempat dimana aku duduk meluruskan kaki, rungsing sekali rasanya karena mau sesibuk apapun beraktifitas seluruh isi kepala tetap dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama.

Yang tidak bisa ku jawab..

Aku melirik ke arah pintu kaca yang terlihat dari tempat ku duduk, berkali-kali mengurungkan niat apakah aku harus berbincang dengan Semesta setelah sekian lama karena sejak terakhir kali kita berbicara sepatah kalimat yang keluar dari Semesta ternyata terus menghantui ku sampai sekarang.

Sejenak ketika pikiran terfokus pada hal yang tidak terlalu penting itu, pintu rumah diketuk tiga kali membuat ku terdiam. Ada jeda yang cukup panjang sebelum terdengar tiga ketukan berikutnya yang mengizinkan ku untuk bangun dari duduk dan membuka pintu rumah demi mendapati seseorang yang sudah ku kenal sejak kecil dulu.

"Om Naku?"
"Aduh, berapa kali aku bilang manggilnya mas aja."

Aku hanya nyengir dan mempersilahkan lelaki yang ku panggil Om Naku tadi untuk masuk kedalam rumah.

Itu Nakula. Tidak tahu bagaimana ceritanya tapi Nakula cukup dekat dengan Ibu karena aku terus melihatnya berulang kali sejak kecil. Aku sempat mengira Nakula adalah Ayah namun ketika tak sengaja ku panggil begitu Ibu langsung menegur dibalas dengan kekehan Nakula.

"Biarin aja, Kak. Gue gak masalah kok."
"Jangan seperti itu, Naku. Orang-orang bisa salah paham."

Sekilas kira-kira hanya itu percakapan yang ku ingat saat memanggil Nakula sebagai Ayah. Tentu kesalah pahaman itu berlanjut untuk beberapa lama lalu setelah mengerti akupun berhenti dan mulai memanggil Nakula dengan panggilan Mas.

"Kaya biasa, Ibu bilang hari ini kamu dirumah seharian jadi aku mau ajak main hehe."

Aku tidak heran, Nakula sering datang untuk bermain dan mengobrol. Kadang datang untuk Ibu tapi juga kadang datang untuk ku. usianya menginjak kepala tiga tapi entah karena alasan apa aku tidak pernah mendengar berita soal Nakula dan pasangan-nya. Aku juga tidak pernah perduli, Nakula sudah seperti adik Ibu sendiri dan menyayangi ku seperti keluarganya sehingga kami sering sekali berlibur bersama.

"Mas Naku, berbohong pada ku adalah hal yang paling tidak bisa kamu lakukan."

Nakula kelihatan sudah duduk anteng di sofa ruang tamu setelah menaruh tentengan diatas meja, dimana laptop ku juga berada disana. Pria itu memperhatikan layar yang masih menyala, memunculkan sebuah teori dari salah satu mata kuliah ku dengan alis ditekuk seakan tak mendengar perkataan ku barusan.

"Kenapa mas?"

Aku duduk di bawah sofa, dengan posisi yang sama sebelum membuka pintu untuk mempersilahkan Nakula masuk. Sibuk membuka bungkusan yang dibawa oleh diri-nya sendiri yang ternyata berisi martabak manis, Nakula melahap sepotong kue berminyak tersebut. Aku yang melihat Nakula memakan martabak dengan lahap membuat ku terdorong untuk ikut mengambil sepotong besar dan langsung memasukkan-nya kedalam mulut.

"Ini tugas kuliah kamu?"

Aku mengangguk singkat, senang mengunyah.

"Ini mah pelajaran anak SD, Dek."

Aku mendengus sekilas. Sejak dulu Nakula memang sering kali memanggil ku dengan panggilan adek saat sedang berbicara santai, dia bilang sosok ku sejak dulu selalu mengingatkannya dengan Ibu masa muda namun dibentuk ulang menjadi anak kecil.

Nakula bilang dulu dia juga dipanggil seperti itu oleh Ibu karena umur mereka yang berpaut jauh jadi mendengar kabar kalau Ibu akan segera melahirkan bayi mungil ke dunia ini membuat Nakula mengambil kesempatan tersebut untuk gantian memanggil ku dengan sebutan yang sama dengan bagaimana Ibu memanggil-nya.

"Memang Mas Naku pernah ketemu yang lebih susah?"

Aku mendengar Nakula berdecih dengan suara meledek dan menjawab, "Dulu mah, Mas disuruh membuat candi kalau mau lulus cepet." Aku tertawa lumayan keras sebelum ikutan bercanda, "Jadi kamu lulus lama karena tidak membuat candi?"

"Nah itu dia."

Nakula menyahut tawa ku dengan tawa khasnya. Untuk ku, Nakula sudah seperti seorang kakak. Dia selalu mengerti soal pertanyaan-pertanyaan yang ku urungkan karena tidak mau mengetahai jawabannya. Aku juga yakin, hari ini dia datang demi mendengar sebuah kisah dari ku.

"Jadi gimana keadaan kamu?"

Betul kan. Aku yakin Nakula dengar sekilas cerita dari kegundahan hati Ibu. Sepertinya Ibu memang lama menyimpan perasaan khawatir itu sendirian dan berkedok layaknya tidak terjadi apapun namun Nakula terlebih dahulu menemukan Ibu yang bersembunyi dalam persinggahan gelap gulita-nya sehingga ketimbang menunggu Ibu siap untuk mengeluh akan lebih baik jika Nakula segera turun tangan untuk membantu.

Ibu mungkin tidak pernah bercerita namun Nakula selalu berani bertanya.

"Tidak tahu.."

Seluruh rasa tertarik ku pada martabak di depan mata tiba-tiba jadi sirna, beruntung kepingan besar tadi sudah ku telan habis. Selesai meminum segelas air putih yang memang ku siapkan disitu, aku pun menjawab kembali.

"Hari itu seperti takut sekali."

Aku menekuk kedua lutut dan menumpu dagu diatas sana, membiarkan Nakula turun dari sofa dan ikutan duduk dibawah. Aku bahkan membiarkan-nya meminum air digelas yang sama karena sudah tidak fokus lagi untuk mengambilkan-nya air di gelas lain.

"Ibu berkata bahwa aku harus berhenti mempertanyakan sesuatu yang bisa membuat ku sakit lalu setelah itu aku seperti dilahap oleh ketakutan yang sangat besar. Aku tidak pernah merasakan itu sebelumnya, Mas."

Nakula kelihatan serius sekali mendengarkan seluruh cerita ku yang kebingungan soal perasaan sendiri. Dia diam dengan tatapan mata yang tidak putus ke arah ku.

"Hari itu entah kenapa rasanya hanya ingin bersembunyi dan melarikan diri, seperti ada banyak suara yang berkumandang di telinga kanan lalu kiri, kepala ku berdenyut hingga detak jantung rasanya berdetak tanpa jeda sedetik, yang ku ingat hanya wajah khawatir Ibu serta usapan lembutnya yang dilakukan tanpa bertanya banyak lagi."

Aku melihat Nakula yang terdiam dengan ekspresi wajah berubah, seperti pernah mendengar cerita tersebut dan dihantamkan batu diatas kepala-nya. Namun ekspresi itu hanya bertahan beberapa detik hingga aku juga tidak yakin lalu menganggap Nakula hanya terkejut mendengar penjelasan ku.

Aku dengar, Nakula menghela nafas.

"Dulu, Mas pikir semuanya berhenti di Ibu. Tidak menyangka jika kamu juga harus tersiksa dengan rasa yang sama."
"Berhenti di Ibu?"

Aku bertanya penuh keraguan, takut salah dengar dan takut salah mengartikan.

"Ibu juga seperti itu."

Nakula mengubah posisi-nya, cara duduk-nya jadi lebih lunglai dari biasanya. Seakan dia perlu mengorek luka yang sudah lama sembuh demi bisa bercerita pada ku.

"Mas tidak begitu mengerti bagaimana rasanya tapi Mas ingat dulu Ibu juga pernah bercerita soal perasaan seperti itu."
"Apakah itu setelah aku lahir?"

Nakula menatap ku lama sebelum menggeleng.

"Itu jauh sebelum kamu lahir."

Aku tercengang sebentar. Sebelum aku lahir? Itu jangka waktu yang terlalu jauh. 

"Mas, tolong ceritakan lebih banyak. Aku ingin mengetahui semuanya."

Nakula hanya tersenyum membalas ucapan ku dan membuka kotak berisi martabak itu, mengambil satu lahapan besar lagi demi menikmati kue yang dia bawa sendiri.

"Nanti ya, Jani."

Nakula kelihatan nyaman sekali mengunyah martabak seakan cerita yang menggantung itu bukanlah sebuah masalah besar untuknya—bahkan jikapun memang iya, setidaknya dari tadi itulah yang menjadi masalah besar untuk ku.

Aku baru tahu soal hal-hal ini. Tidak heran kenapa kemarin Ibu seakan mengerti dan enggan bertanya banyak demi mengorek apa yang aku rasakan karena jika mendengar dari apa yang baru saja Nakula katanya, hal seperti kemarin yang terjadi pada ku juga pernah terjadi pada Ibu.

Dan bahkan apa yang terjadi pada Ibu ialah sebelum aku lahir ke dunia ini.

Lalu kenapa aku juga merasakan hal itu? Apakah itu penyakit yang bisa dijelaskan oleh medis, yang bisa diturunkan dari darah ke darah?

"Dek, jangan dipikirin."

Nakula kelihatannya peka bahwa aku sedang berfikir keras.

"Nanti Mas cerita kalau waktunya sudah tepat."
"Waktu yang tepat itu kapan, Mas?"
"Nanti."

Nakula tersenyum,

"Soal kapan, hanya Mas yang tahu itu."

....

"Tidak kah kamu keterlaluan, wahai manusia?"

Aku berhenti mengangkat jemuran setelah mendengar sebuah bisikan di antara telinga dan hati. Menengadah ke atas.

"Begitu kah?" Aku menjawab tanpa pikir panjang pada Semesta yang bernada seakan aku telah melakukan kesalahan besar. "Jangan lancang." Suara itu seakan mendengus di depan wajah ku yang masih menengadah.

Nakula sudah pulang 30 menit yang lalu dan aku melanjutkan beberes rumah sebelum tiba waktunya Ibu pulang. Padahal Nakula bilang mau menemani ku sampai Ibu datang tapi tiba-tiba dia ada urusan mendadak di kantor sehingga harus pergi setelah mengabari Ibu dan berpamitan pada ku.

"Ada begitu banyak batasan yang tidak perlu kamu lewati. Tetaplah diam disana dan jadi anak baik."

Aku membuang wajah. Kembali sibuk mengangkat jemuran karena dikejar waktu oleh Ibu yang kan menelfon sebentar lagi demi bertanya ingin makan malam apa aku hari ini? Aku sudah begitu hafal karena kegiatan seperti ini dilakukan berkali-kali oleh Ibu.

Aku tidak mau kelelahan menjawab Semesta diantara pusingnya semua hal yang sedang ku pikirkan, meski siang ini sempat berfikir bahwa Semesta bisa menjawab seluruh pertanyaan ku tapi setelah mendengar bagaimana rungsingnya dia berteriak saat ini membuat ku sadar kalau Semesta sama sekali tidak bisa membantu.

"Jani, kamu begitu bahagia saat ini jadi berhentilah sembrono dalam mencari jawaban atas gundah yang tengah kau rasa."

Aku menghela nafas panjang. Mau semarah apapun aku, entah kenapa aku begitu mengerti bahwa Semesta memang berkata jujur. Dia pasti tahu akan terjadi apa dan bagaimana dulu kehidupan sebelum aku diberi izin untuk merasakan semua nikmat-nya.

"Aku tahu.. Maaf."

Dihadapan Semesta, aku memang enggan menelan ego bulat-bulat. Hanya kepada-nya aku bisa secara mudah mengalah dan tetap tenang, meski kadang ada banyak perdebatan yang kami jalani tapi bersama Semesta seluruh hal menjadi lebih cepat. Lebih berdebar.

Meski aku tahu Semesta sebenarnya adalah juru kunci dari banyak hal tapi Semesta bersama seluruh pengetahuan-nya juga selalu jadi yang paling pintar, dia seakan ikut menutup erat apa saja yang terjadi pada dunia ini. Seakan melindungi ku dari bayangan gelap yang bisa menyakiti ku kapan saja.

"Kamu tidak berkunjung cepat sejak hari itu."

Aku menaruh seluruh pakaian ke keranjang bersih, duduk sebentar di taman setelah melihat jam yang masih memberikan ku waktu itu mengobrol lebih banyak dengan Semesta.

"Ya."

Hening sempat merayap beberapa menit sebelum Semesta kembali bersuara,

"Aku tidak mengganggu karena percaya jika Ibu mampu menghadapi mu sendirian."

Aku mengerutkan alis, merubah warna bersalah itu menjadi sebuah kesinggungan yang mendalam. Tentu saja Ibu bisa menghadapi ku. Mungkin waktu kami tak begitu banyak bahkan semenjak aku dewasa namun Ibu selalu menjadi orang pertama yang berada di sisi ku mau sesibuk apapun beliau. Bahkan demi mengambil ulasan nilai sekolah ku, Ibu memaksa diri untuk merombak ulang jadwal dinas-nya dan hadir saat rapat wali murid berlangsung.

Rasanya, Ibu tidak pernah sekalipun mengirimkan absensi untuk senilai mata uang itu karena tumbuh kembang ku menjadi yang paling penting untuk-nya. Ibu mungkin gila bekerja. Setengah dari harinya dihabiskan bersama dokumen menumpuk diatas layar laptop-nya namun ketika itu berhubungan dengan aku, anak satu-satunya ini, Ibu bisa tiba-tiba berubah jadi supporter gila yang mengobrak-abrik lapangan bermain ku.

Aku merasa agak marah ketika Semesta mengeluarkan kata-kata tidak masuk akal seakan aku berada diluar kendali Ibu dan harus orang lain lah yang mengingatkan ku, seakan-akan Ibu tidak bertugas banyak sebagai orang tua yang sudah membesarkan ku sendirian berbanjir peluh sebesar jagung itu.

"Wahai manusia, janganlah engkau murka dulu."

Sebelum lepas argumentasi ku, Semesta kembali menggoyangkan ekornya untuk membuat ku tenang.

"Meski dia adalah Ibu mu namun dia juga manusia biasa. Terkadang kehilangan akal sehat tidak memilih mau siapa status mu di dunia ini."

Aku terdiam dibawa marah yang berujung resah. Semesta selalu berkata benar. Ibu memang hanya manusia biasa namun kehilangan akal sehatnya tidak pernah terbayangkan oleh ku. Meski bersama raga kuat itu aku tumbuh menjadi landak yang selalu sendirian, mungkin memang pada dasarnya aku tidak begitu dekat dengan Ibu.

Mungkin...

"Apakah Ayah juga manusia biasa?"

Pertanyaan itu hanya sebuah bisikan. Kecil sekali sampai aku yakin mungkin jika itu bukan Semesta, tidak akan ada yang bisa mendengar pertanyaan ku barusan. 

"Tentu saja, anak bodoh. Ibu tidak mungkin kawin dengan binatang bukan?"

Aku mengkerut-kan alis lalu setelahnya tertawa kecil. Benar juga kata Semesta, hanya karena tidak pernah melihat wujud-nya bukan berarti Ibu bertemu dengan binatang hanya agar bisa memiliki ku bukan? 

"Jani, kamu penasaran sekali ya dengan hal itu."

Angin berhembus lembut sore itu sehingga aku yakin pasti bahwa Semesta sedang dalam mood yang baik. Pertanyaan Semesta pun mengundang rasa ketertarikan dalam diri ku.

"Tidak boleh kah jika aku ingin mengetahui siapa Ayah ku sendiri?"
"Bukan tidak boleh."
"Lalu?"

 Semesta tidak pernah membiarkan ku ditinggal tanpa jawaban tapi malam itu tidak ada lagi suara panggilan maupun lantunan udara yang membuat ku merasa Semesta masih hadir disana. Malam itu, Semesta seperti pergi begitu saja. Seakan dia menghindar dari pertanyaan yang tidak pernah bisa dijawab oleh-nya. 

Aku menghela nafas, berdiri dan mengambil keranjang bersih berisi pakaian. Sebelum masuk ke dalam rumah, ku sempatkan untuk menoleh sekali lagi ke arah tempat ku duduk. Tepat di bawah pohon seperti biasa, seakan jika ku lihat sekali lagi maka Semesta akan muncul disana dan tersenyum pada ku. Namun nihil, tentu saja. Jadi dengan langkah yang gontai, aku memasuki rumah bersama seluruh perasaan yang tidak kunjung mereda beratnya.

Kesedihan itu ternyata bersembunyi. Siap untuk mengagetkan banyak orang kelak bila waktu-nya sudah tiba.


Komentar

Postingan Populer