4

Ibu Orang Sibuk.

Ibu adalah orang yang ceroboh.

Bersama dengan cuaca bulan Desember yang mulai memasuki bulannya penghujan, Ibu benci memutar balik arah untuk tidak melewati jalan yang kering hanya agar bisa sampai di rumah tepat waktu. Namun sepintar apapun Ibu akibat pendidikan dan karirnya, perempuan tetaplah perempuan yang tidak begitu mengerti persoalan otomotif.

Dengan genangan air banjir yang semakin tinggi ketika diterjang oleh Ibu, semakin banyak pula air yang akhirnya rembes ke dalam mesin mobil dan membuat mobil itu mati total. Alhasil mobil Ibu harus menginap beberapa hari di bengkel selama masa perbaikkan.

Selama itu juga aku bertugas untuk mengantar dan menjemput Ibu bekerja, dibanding Ibu harus naik angkutan umum yang tidak pernah beliau pakai aku memilih untuk bersenang-senang menjadi supir-nya.

Ibu memiliki dua kendaraan roda empat yang diberikan satu untuk ku pergi-pulang kuliah dan bermain namun ketika ingin ku pinjamkan mobil ini kepada Ibu, beliau menolak. Ibu lebih takut aku kehujanan dan kepanasan di jalan ketimbang harus diri-nya yang kerepotan sementara aku sendiri menolak untuk membiarkan Ibu mengembara sendiri pergi-pulang kantor dengan kendaraan-kendaraan yang tidak Ibu kenali. 

Aku tidak yakin Ibu akan selamat sampai kantor atau sampai rumah jika aku membiarkan-nya nekat belajar naik angkutan umum.

Kantor Ibu tidak begitu jauh dari rumah, hanya setengah jam perjalanan menggunakan jalan tol yang tidak begitu ramai di jam-jam Ibu pergi dan berangkat kerja. Jalannya juga searah dengan kampus ku, membiarkan Ibu pergi sendirian hanya akan menambah kekhawatiran ku setiap hari.

Dekat kantor Ibu adalah toko roti yang juga menjual kopi lumayan enak, duduk didalam akan dipenuhi semerbak wangi mentega dan jika duduk di luar akan dihadapi dengan hiruk pikuk jalanan kota.

Dengan mulut yang tidak bisa berhenti mengisap tembakau, aku memilih untuk duduk di luar toko yang bisa langsung melihat jika Ibu sedang berjalan kemari. Jam juga belum menunjukkan waktu Ibu selesai bekerja.

"Halo, Cantik."

Aku melirik ke samping dimana terpampang jelas wajah khas laki-laki penggila wanita yang lumayan tampan, memakai fisik seperti itu tentu saja akan ada banyak wanita yang rela melakukan apapun demi bisa bersama pria ini.

"Mas Gio.."

Giovanni.

Pria berwajah khas orang arab dengan lekuk garis yang tegas itu sebenarnya adalah orang asli kota ini. Tidak ada atau salah satupun dari silsilah keluarga-nya yang berkebangsaan orang sebrang hingga pria ini diciptakan dengan wajah tampan-nya.

Wanita dan gadis normal mungkin akan berteriak girang ketika dihampiri orang setampan Gio namun berbeda dengan aku yang sudah mengetahui bagaimana akal bulus-nya itu untuk meminang banyak perempuan hingga melihat wajah-nya saja seperti ingin muntah.

"Sendirian aja nih si cantik."

Tanpa ada suruhan dan permisi apapun, Gio menarik kursi didepan ku lalu duduk disana. Gio sudah seperti orang yang lepas dari basa-basi hingga mengeluarkan sekotak tembakau demi bisa mengobrol dengan ku lebih lama.

"Perempuan mana lagi yang di incer hari ini?"

Aku berkata dengan wajah datar sementara Gio tertawa. Gio adalah sahabat laki-laki Ibu bersama dengan Nakula. Mereka bertiga sepertinya tumbuh besar dan berkarir di jalur yang sama sejak dulu sampai Nakula memilih untuk menginjakkan kaki ditempat lain, membiarkan Gio dan Ibu bergelut di satu tempat yang sama.

Meski begitu sepertinya tidak ada aturan perlombaan atau persaingan apapun dalam hubungan mereka bertiga sehingga yang bisa dilihat hanyalah sebuah persahabatan yang tentram. Tidak berisik. Kecuali Ibu yang selalu jadi jamuan paling enak untuk Gio.

Gio saat ini sudah berumah tangga, memiliki dua anak laki-laki yang parasnya tidak kalah tampan dengan diri-nya. Namun sifat bengis-nya terhadap perempuan itu masih sama sejak masih muda—Ibu yang bilang, sehingga Ibu selalu meminta ku untuk berhati-hati jika itu berhubungan dengan Gio.

"Jutek banget. Kaya liat kembaran-nya Ibu."

Gio maupun Nakula jarang memanggil Ibu dengan nama-nya sendiri ketika sedang mengobrol dengan ku, aku tidak pernah bertanya soal alasan-nya kenapa tapi dengar cerita dari Nakula itu adalah bahasa agar aku mengenal Ibu sebagai Ibu. Bukan sebagai orang lain.

Hal ini diberi tahu oleh Nakula setelah aku duduk di bangku sekolah menengah pertama. Mungkin dia melihat aku yang kebingungan karena status mereka bertiga sehingga penjelasan mendadak itu diungkapkan oleh-nya.

"Tumben kamu kesini, pasti gara-gara Ibu ngerusak mobil lagi kan?"

Lagi. Pasti Gio dan Nakula akan mengatakan hal itu karena paham bagaimana Ibu dengan sifat ceroboh-nya. Memang bukan sekali dua kali Ibu sembarangan memakai apa yang dia punya sampai rusak dan harus pulang pergi perbaikkan.

Namun salah satu diantara kami tidak ada yang pernah kesal dengan itu.

Menurut ku sendiri, Ibu bersama sifat ceroboh-nya mampu menutup seluruh kesempurnaan yang dia miliki. Seperti sebuah lampu minyak yang cahaya-nya akan meredup sebentar karena kekurangan bahan bakar namun setelah di isi ulang, cahaya itu akan menyala lebih terang lagi dibanding sebelumnya.

Aku yakin Gio dan Nakula juga memiliki pemikiran serupa.

"Mas Gio, ngurusin Ibu tuh hobi kamu ya?"

Aku lihat Gio mengangkat bahu tanda tidak perduli, tindikan di kuping kanannya sungguh berperan besar tentang sikap sembrononya ini. Seakan keluarga yang sedang dia bangun bukanlah penghalang untuk kesukaannya.

"Andai aja Ibu dulu gak nolak aku, pasti aku udah tobat kok."
"Kenapa bawa-bawa Ibu?"

Aku menghancurkan tembakau yang sudah habis pada asbak beralas tisu basah di atas meja, tidak mengerti kenapa atas penyakit Gio sendiri, dia malah sibuk menyalahkan orang lain.

"Mas Gio kan harusnya bersyukur."
"Aku bersyukur terus kok."
"Bersyukur masih ada yang mau jadi istri Mas Gio, kalo aku sih kayanya udah nalak Mas Gio 30 kali."

Gio melotot melihat ku namun belum sempat menjawab sebuah pukulan datang dari arah belakang kepalanya, menyundul keras kepala Gio sampai laki-laki itu mengaduh dan sibuk mengusap kepalanya sendiri.

"Sialan!"

Satu pukulan datang lagi setelah sumpah serapah itu keluar dari mulut Gio, aku sendiri hanya dengan datar memperhatikan Ibu—si pelaku yang dua kali memukul kepala Gio dari belakang.

"Pukulan pertama karena lo gangguin anak gue, pukulan kedua karena lo ngomong kasar depan anak gue."

Ibu hari ini bersetelan sangat rapih. Kemeja kerah datar berwarna hitam itu senada dengan celana bahan dan sepatu sneakers yang melekat manis di kaki-nya, aku salim pada Ibu untuk mencium bau semerbak manis dari tangan yang masih semulus pantat bayi itu sembari tersenyum pada-nya.

Ibu mengusap kepala ku dan menoleh ke arah Gio yang masih sibuk menggerutu sendirian,

"Lo apain anak gue?"

Aku tidak pernah bisa menebak apa Ibu sejatinya membenci Gio atau tidak, karena di lain waktu mereka bisa sangat akrab dan di lain waktu lagi mereka bisa bertengkar hebat. Seperti saat ini dimana Ibu habis-habisan menatap tajam ke arah Gio seakan lelaki itu baru saja melucuti pakaian ku didepan umum.

"Duh! Gak diapa-apain kok. Gue kan udah lama gak ketemu sama Jani, mau nyapa aja sebentar."
"Sebentar, sebentar. Gue tau isi otak lo itu."

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri melihat bagaimana semua orang di kedai memperhatikan kami, mungkin mereka kira Ibu dan Gio benar-benar bertengkar sehingga aku menarik ujung kemeja Ibu sampai beliau menunduk untuk melihat ku yang masih duduk manis.

Seakan mengerti arti tatapan ku, wajah Ibu melunak dan menggeser bangku disebelah ku untuk duduk disana. Tatapan mata ku tadi sepertinya menjadi sihir paling ampuh untuk menyadarkan Ibu soal keributan yang dibuat-nya karena setelah duduk Ibu jadi sibuk tersenyum pada ku.

"Apakah lelah?"

Nada bicara Ibu kepada ku dengan nada bicara Ibu kepada Gio tadi pun berubah, selayaknya seorang Ibu, beliau mempertanyakan suatu pertanyaan biasa yang sudah menjadi hal monoton untuk ku. Tapi pertanyaan kali ini aku yakini bukan tentang apakah aku lelah menjalani hari-hari ku tapi apakah aku kelelahan menanggapi lelaki dihadapan ku saat ini.

"Tidak juga, Ibu. Mas Gio seperti biasa hanya menahan rasa khawatir-nya karena gengsi yang berlebihan."

Gio nampak berdecih ringan dan membakar satu batang tembakau lagi.

"Ya gimana, orang pernah ditolak. Mau dikasih perhatian lebih juga udah percuma."

Menurut cerita Nakula, Gio pernah melamar Ibu. Nakula sendiri tidak memberitahu secara jelas kapan itu terjadi tapi yang pasti hari itu Gio maupun Ibu masih sama-sama muda. Mereka adalah kawan sepantaran yang menggeluti bidang karir di tempat dan kesukaan yang sama sehingga tidak begitu lama untuk mereka berdua menjadi teman. Namun Gio memang sejatinya berusaha mendapatkan hati Ibu lebih dari pada pertamanan itu sendiri sehingga dengan berani-nya Gio berlutut di satu dengkul dan memberikan cincin pada Ibu, mengatakan bahwa saat ini Gio sudah tidak bisa berbohong lagi soal perasaan-nya.

Hari itu sepertinya Gio dibutakan oleh hawa nafsu dan obsesi-nya yang tidak bisa mendapatkan Ibu sehingga ketika helaan nafas yang panjang keluar sebagai jawaban, seluruh mental yang sudah dipersiapkan oleh Gio runtuh begitu saja. Ibu pada dasarnya adalah perempuan yang kasar jadi sebagai persiapan untuk tidak menyakiti hati Gio lebih dalam dia hanya membuang muka dan melenggang pergi begitu saja. Besoknya, Gio datang ke rumah Ibu untuk meminta maaf dan bertanya apakah mereka bisa kembali berteman.

"Ibu jawab apa, Mas?"

Hari itu umur ku sudah masuk usia belasan tahun hingga yang ku tahu hanyalah kisah cinta manis seorang tuan puteri dengan pangeran-nya, tidak pernah tahu kalau ternyata ada kisah Ibu dan Gio yang membuat ku lebih penasaran akan rasa malu.

"Hmmm.. Ibu jawab mereka bisa kembali berteman tapi kalau Gio melakukan hal itu sekali lagi di masa depan maka Ibu akan benar-benar menendang kepala-nya sampai lepas."

Aku pikir Ibu keterlaluan hari itu tapi menunggu sampai aku sedikit lebih besar untuk mengerti kalau ternyata memang seseorang seperti Giovanni pantas untuk mendapatkan satu tendangan selama masa hidup-nya.

"Ibu, seharusnya perlakukan gue sama kaya lo perlakuin anak lo."

Ibu melengos ketika mendengar Gio bersuara dan kembali menatap ku.

"Cuacanya sedang tidak bagus akhir-akhir ini, Nak. Ayo pulang dan buat kopi hangat, kita lanjut mengobrol dirumah aja."

"Ini gue diusir secara halus ya?!" Gio misuh-misuh sendiri melihat Ibu merapihkan diri untuk siap pulang, "Kasian anak gue, Yo. Baru balik kuliah terus jemput kesini ditambah harus ketemu sama lo yang gak normal. Lo juga balik, ya."

Gio terlihat lebih santai dari sebelumnya ketika mendengar kata-kata Ibu lalu ikut-ikutan merapihkan diri dan bangkit dari duduk, "Huh, padahal masih kangen banget sama Jani."

"Kepala lo mau gue pukul lagi?"

Tapi mendengar perkataan Ibu, Gio malah terkikik geli dan dibalas dengan tawa kecil Ibu. Lihat, mereka bisa merubah suasana hati sesuai dengan keinginan masing-masing sehingga sulit sekali untuk menebak apa yang ada dalam pikiran mereka.

"Aku selalu mikir kalau hubungan Ibu, Mas Gio dan Mas Naku adalah hubungan paling istimewa."

Aku memulai percakapan dalam perjalanan pulang kami kerumah, sementara Ibu duduk disamping dengan sangat anteng sembari fokus menyetir. Aku hanya sibuk menatapi jalanan yang semakin ramai dengan orang-orang bubaran kantor.

"Memang apa definisi istimewa untuk Jani?"
"Eh, apakah definisi istimewa itu berbeda-beda untuk tiap orang?"

Ibu mengangguk, mobil berjalan sangat santai seakan hanya di waktu-waktu seperti ini Ibu sangat menikmati hidup-nya, mungkin memang ketika berada di perjalanan pulang sembari mengobrol berdua dengan ku adalah kegiatan yang paling Ibu suka.

"Menurut Ibu sendiri bagaimana?"

Aku bertanya balik namun Ibu mengerutkan dahi sembari terkekeh, "Ibu kan mau dengar jawaban Jani dulu, kenapa malah balik bertanya?"

Aku menggaruk pipi canggung dan berdehem, benar juga sih.

"Mungkin... Sesuatu yang sangat sempurna? Sesuatu yang terjadi pada kehidupan kita, yang sangat membahagiakan dan langka. Terjadi sekali seumur hidup dan sulit untuk terjadi di kehidupan orang lain."
"Begitu kah Jani melihat hubungan persahabatan Ibu? Sesuatu yang sempurna?"

Aku mengangguk, menyapu pandangan pada jalanan kota yang sangat padat dan gelap. Ada pedagang asongan yang sedang meniduri anaknya dibawah terpal dagangan-nya sendiri, aku yakin angin diluar sangat dingin karena petir terdengar mulai menyambar mungkin hujan akan turun malam ini namun entah kenapa si pedagang asongan tidak mulai beberes untuk menutup dagangan-nya dan pulang kerumah, malah memilih untuk menidurkan anaknya disana meski tak ada satupun orang yang mampir demi membeli dagangannya.

"Susah sekali untuk mempercayai manusia pada saat seperti ini, Ibu. Namun Ibu beruntung karena bertemu dengan Mas Naku dan Mas Gio di masa muda kalian. Bahkan meski berjuang membesarkan ku sendiri itu tidak menjadi sulit karena ada mereka kan?"

Ibu memelankan laju mobil saat lampu merah menyala dengan terang dan menoleh pada ku,

"Jani lahir ketika seluruh hal yang menghancurkan Ibu itu sudah mati sementara Nakula dan Gio berada disana ketika Ibu memiliki keinginan untuk menghancurkan dunia ini, kira-kira siapa yang paling beruntung?" Aku berfikir sebentar dan menjawab, "Jani paling beruntung ya, Bu. Karena hadir saat Ibu sudah sembuh."

Tapi mendengar jawaban tegas ku Ibu malah menggeleng,

"Berkat Jani lah, Ibu sembuh."

Mobil mulai melaju lagi setelah lampu berganti menjadi hijau sementara aku masih menatap Ibu yang kembali fokus menyetir mobil.

"Jika begitu definisi istimewa untuk Jani maka untuk Ibu sendiri definisi istimewa sendiri adalah kamu, Rinjani."

Aku terpaku melihat senyuman Ibu yang sangat cantik namun mata-nya menabrakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan senyuman-nya, ada pola samar yang beriak saat Ibu menukikkan kedua ujung bibir-nya keatas, seperti getaran halus akan menahan tangis yang tidak bisa Ibu ungkapkan. Namun aku belum sempat menjawab ketika Ibu sudah kembali bersuara.

"Ingat itu ya, Nak. Di hidup Ibu hanya ada kamu. Bukan orang lain."


...


"Ibu kelihatan sedih ya, Semesta."

Seminggu setelah hari itu, Ibu pergi dinas ke luar kota. Meninggalkan ku yang sudah menyelesaikkan seluruh ujian semester dan sedang menikmati liburan untuk dua bulan kedepan sampai memulai semester baru lagi. Sebenarnya hal-hal ini sudah sering terjadi dan aku pun lebih terbiasa dari pertama ditinggal Ibu pergi dinas keluar kota namun Ibu sejatinya adalah seseorang yang tidak bisa terima jika harus dipisahkan dengan anak-nya meski hanya sebentar sehingga untuk hari-hari sebelum beliau pergi akan ada tangisan sedih dan rengekan dari bibir manis-nya itu.

Biasanya aku adalah orang yang paling tidak mengerti kenapa Ibu sesedih itu jika harus melakukan pekerjaan diluar kota dan meninggalkan ku tapi kemarin entah kenapa aku mulai mengerti perasaan Ibu, aku tidur di kamar-nya selama beberapa malam sebelum Ibu pergi dinas dan bercerita banyak hal tentang hari-hari ku sebelum tidur. Ibu disana duduk dengan tenang dan mendengarkan, kadang dengan suara lembut Ibu menjawab atau memberikan beberapa debatan yang membuat ku mencari tahu jawaban aslinya.

Kemarin pagi aku mengantar Ibu ke bandara ditemani oleh Nakula karena Ibu khawatir sekali meninggalkan ku sendirian dirumah, meski begitu setelahnya aku dengan sopan mengusir Nakula dari rumah dan berkata bahwa aku akan baik-baik saja bahkan jika ada apapun yang membahayakan aku akan lebih dulu menelfon polisi ketimbang harus menelfon Nakula. Hari ini, karena tidak memiliki kegiatan apapun aku memutuskan untuk berkendara lima jam dari rumah menuju salah satu pantai di kota itu dan bermalam di resort setelah mengabari Ibu lewat pesan singkat. 

Rasanya setelah hari-hari melelahkan di kampus maupun menanggapi rengekan Ibu kini aku membutuhkan istirahat yang cukup dengan menikmati semilir angin sore hari sembari menyapu pandangan pada senja yang mulai menghilang warnanya.

"Beliau selalu kelihatan sedih."

Aku mendapat jawaban dari Semesta setelah menunggu beberapa lama sementara isi kuping sendiri dipenuhi suara deraman ombak yang sangat tenang. Tanpa beralaskan apapun aku duduk di pasir pantai yang lembut, tempat bermalam yang ku pilih memang memiliki akses masuk langsung ke pantai ini dengan pengunjung yang tidak begitu ramai. Bahkan saat ini hanya ada aku sendiri yang masuk duduk diam menikmati pantai malam hari.

"Begitu kah kamu melihat Ibu?"
"Ibu hanya pandai melakukan peran sebagai orang tua ketika berada dihadapan mu."

Ah.. Semesta ada benarnya. Jarang bisa melihat Ibu menangis karena kelelahan atau sedih soal hal lain selain mengkhawatirkan diri ku. Semesta pasti tahu apa yang terjadi sebelum aku ada di dunia ini namun bersamaan dengan kapasitas diri-nya sendiri, Semesta memilih untuk menutup mulut dan menutup mata soal semua itu.

"Apakah ada sesuatu yang terjadi antara Ibu dan kamu?"

Aku melengos ke arah lain demi tak menatap deburan ombak di depan ku dan menjawab,

"Jangan pura-pura tidak tahu, aku yakin kamu mendengar dan melihat semuanya."

Aku mendengar ada sesuatu yang menggelitik di kedua kuping ku, terasa seperti Semesta sedang terkekeh geli. Tapi percayalah pertanyaan yang Semesta tanyakan itu hanya sebuah formalitas belaka demi melihat apakah aku akan bercerita padanya atau tidak sementara aslinya Semesta pasti sudah mengetahui semuanya.

"Yah, sudah tidak aneh untuk ku melihat kejadian seperti itu."

Akan ada waktu yang panjang untuk ku mengobrol dengan Semesta selama aku berada di tempat ini. Menurut ku, di dataran rendah seperti ini lah aku bisa merasa sangat dekat dengan Semesta. Seakan sosok-nya benar-benar duduk di samping ku.

"Rinjani."

Aku memeluk kedua lutut erat ketika mendengar suara Semesta memanggil ku dan hanya berdehem pelan untuk menjawab-nya.

"Percayalah bahwa seluruh yang Ibu katakan adalah kejujuran yang didasari oleh kebaikkan demi melindungi mu dari jahatnya dunia ini."

Aku menghela nafas,

"Aku tidak yakin."
"Kenapa seperti itu?"
"Buktinya Ibu tidak pernah mengenalkan siapa Ayah."

Hening panjang membuat tubuh ku gemetar karena angin malam mulai menusuk kulit, ketika aku sudah begitu yakin jika Semesta tidak akan lagi menjawab kata-kata ku, aku pun bangkit berdiri untuk segera masuk kedalam penginapan. Ku pikir, mungkin Semesta menghilang sekali lagi seperti hari itu karena enggan menjawab perkataan ku. 

Aku menatap laut tenang sekali lagi, tidak mengerti kenapa ciptaan tuhan yang satu ini bisa menjadi obat paling mujarab bagi semua manusia yang sedang mengalami kemalangan dalam hidup-nya. Sepertinya laut adalah jalan terakhir atau tujuan terakhir bagi beberapa manusia yang minta di kasihani.

Termasuk aku.

Aku berbalik dan mulai berjalan pelan ke arah penginapan, menikmati sekali lagi angin laut yang terasa semakin dingin dari sebelumnya. Entahlah, mungkin ini cara lain Semesta yang ingin menghukum ku karena terlalu banyak bicara. Sudah ku bilang, dengan kemampuan-nya Semesta mampu memberitahu ku bahwa dia sedang marah.

"Dan buktikanlah bahwa ditutupnya fakta itu merupakan sebuah hal yang tidak adil bagi mu."

Aku menoleh cepat ke arah laut, jawaban Semesta bagai geraman yang sangat terasa dekat. Seperti sosoknya berdiri tepat dibelakang ku namun enggan terlihat setelah memberikan ancaman yang percuma. 

Karena menurut ku, Semesta sama pengecutnya seperti ku yang tidak pernah berani bertanya siapa sosok Ayah pada Ibu. Untuk apa? Ibu tidak akan menjawab. Ada banyak kejadian yang membungkam ku atau memaksa ku untuk bungkam hanya karena Semesta terus menekan kemungkinan besar jika aku mengetahui-nya pun tidak akan berujung baik.

Persetan.

Aku datang ke tempat ini demi sebuah rasa tenang yang tidak ada dua-nya. Melarikan diri dari banyak pertengakaran di dalam kepala serta suara berisik tersebut tapi mengapa Semesta juga yang harus menghancurkan semuanya?

Aku berdecih. 

Aku berfikir, bahkan jika datang kiamat malam itu, kematian ku akan menjadi sebuah ketenangan yang paling ku inginkan.


Komentar

Postingan Populer