5
Kenapa Harus Aku?
Sialnya, Nakula menemukan ku.
Esok paginya, aku terbangun karena ketukan berantakan di pintu penginapan. Membuat ku sedikit merasa parno karena takut-takut itu adalah orang jahat yang hendak menculik ku karena melihat seorang perempuan masuk sendirian ke penginapan sepi ini. Dengan memodalkan payung lipat sebagai senjata aku membuka pintu hanya untuk menghadapi Nakula sedang berdiri terengah-engah.
"Mas.. Naku?"
Aku terhentak dalam sekali gerakan ketika Nakula menarik ku ke dalam pelukannya, "Bener-bener.." helaan nafas keluar dari mulutnya sebelum dia melanjutkan, "Mas kira, mas bakal kehilangan kamu kali ini."
Aku mendorong Nakula menjauh dari pelukan itu dan menatap-nya horor, memang bukan sekali dua kali Nakula bisa melakukan sentuhan tubuh seperti itu pada ku namun apa yang membuat ku terkejut adalah apa yang baru saja Nakula katakan.
Orang ini berprilaku seakan-akan pernah hampir kehilangan ku.
"Apaan sih, Mas?"
"Kamu yang apa-apaan, Rinjani! Kamu tau gak yang mencari kamu tuh banyak! Ibu sampai menangis dan membuat penerbangan darurat pagi ini hanya untuk memastikan kamu baik-baik saja!"
Aku terdiam, ah. Salah ku lagi.
"Sekalipun, tidak pernah kita semua melarang kamu pergi jauh kemana saja sendirian tapi tolong beri kabar, sulit kah untuk menyalahkan ponsel dan memberi kabar?"
Pasti yang Nakula maksud dengan kita adalah diri-nya sendiri, Ibu serta Gio. Aku tahu benar dimana letak kesalahan ku saat ini tapi kelakukan mereka terlalu berlebihan. Kekhawatiran mereka yang seperti ini, suatu saat mungkin bisa melukai banyak orang.
"Aku sudah mengabari Ibu lewat pesan singkat, semalam tidak sempat melihat ponsel lagi. Mungkin ponsel ku mati karena habis baterai."
Aku tetap berusaha menjelaskan dengan detakan jantung yang terus meningkat di tiap kalimatnya. Memang benar semalam setelah masuk ke dalam kamar, aku tidak sempat melihat ponsel lagi. Seluruh kepala dipenuhi perasaan gundah dan amarah akan kalimat-kalimat Semesta yang terus menerus menggantung. Membuat aku jadi semakin penasaran, semakin terdorong jauh soal keingin tahuan akan darimana sebenarnya asal usul keluarga ku ini.
Reaksi Nakula, kata-kata Nakula, membuat ku semakin marah. Nakula bertindak seakan aku menghilang lama, seakan kejadian seperti ini terjadi tidak sekali dua kali dalam hidup-nya. Padahal, melakukan perjalanan jauh sendirian seperti ini ku lakukan sesering mungkin setelah menginjak usia legal mengendarai mobil dan selama melakukan itupun Ibu memberikan ku kebebasan yang besar.
Kehilangan ku lagi? Bagaimana maksud Nakula itu? Aku tidak pernah menghilang,
Aku tidak pernah membangkang.
"Kemas barang kamu sekarang, kita pulang. Ibu menunggu dirumah."
Nakula hanya berbalik dan menjauh dari pintu penginapan sementara aku langsung masuk kedalam, bersandar ke balik pintu yang sudah ku tutup. Aku menghela nafas pelan, kenapa disaat-saat seperti ini aku bahkan tidak ditanyakan keadaan-nya? Kenapa disaat-saat seperti ini mereka hanya sibuk membawa ku pulang dan seakan berusaha mengamankan ku lebih dulu?
Kenapa?
Tapi tanpa pertanyaan apapun aku mengemas barang, dengan air mata yang berusaha ku tahan pun aku tetap melaksanakan apa yang Nakula minta. Mungkin saja setelah aku pulang dan memberikan penjelasan, semuanya akan selesai.
...
"Rinjani.." Aku lihat wajah Ibu yang bengkak akan tangis yang tidak berhenti seharian itu ketika baru saja membuka pintu rumah, ternyata Ibu benar-benar mengambil penerbangan pertama hari ini hanya untuk menemui ku dan memastikan aku baik-baik saja namun apa ini? Kenapa aku malah marah ketika melihat keadaan Ibu yang mengenaskan?
"Kamu kemana aja sih? Kenapa tidak mengabari Ibu?"
"Maaf."
Nakula menaruh tas ku diatas sofa dan tetap berada disekitar untuk mendengar percakapan ku dengan Ibu.
Ibu memeluk ku erat, seakan hilang kabar ku adalah mimpi buruk yang tidak ingin Ibu bayangkan. Aku tidak mengerti apa yang Ibu dan Nakula inginkan ketika melihat ku kembali karena setelah itu mereka hanya duduk dan menyiapkan ku makanan serta vitamin. Aku pun sudah enggan menjelaskan mengapa aku bisa lupa mengabari Ibu karena entah kenapa aku yakin pada saat ini, apapun yang keluar dari mulut ku akan menjadi hal yang sia-sia.
Ibu linglung karena terakhir kali membaca pesan ku hanya ada aku yang berkabar bahwa aku sudah sampai di penginapan, hilang sudah setengah malam saat Ibu mulai menangis kesetanan dan menelfon Nakula untuk menyusul ku ke pantai. Nakula yang mendapatkan telfon tersebut langsung menyeret teman-nya, mengemudi tanpa perasaan dengan harapan bisa melihat ku aman sesegera mungkin.
Sore hari di hari yang sama, Gio datang ke rumah dengan wajah yang terlukiskan khawatir-nya juga. Laki-laki itu duduk di dekat Ibu dan mendengarkan penjelasan Ibu sebelum menghampiri ku. Usapan lembut tangan-nya terjatuh tepat diatas kepala ku.
"Yah, yang penting Jani baik-baik aja. Ingat untuk selalu mengabari Ibu apapun yang terjadi ya."
Aku tidak pernah sadar jika Gio bisa sedewasa ini ketika dihadapi oleh masalah yang sudah selesai karena biasanya yang ku lihat hanya Gio yang selalu berapi-api dengan sifat buruk-nya, mungkin sisi ini yang membuat Ibu bisa berteman lama dengan Gio.
Nakula juga tetap disana seharian, hingga malam tiba dan Ibu menawari Nakula untuk menginap pun lelaki itu menyetujui tanpa berfikir panjang. Mereka bertiga masih disana ketika aku masuk ke dalam kamar, yang kulihat terakhir kali sebelum menutup pintu kamar adalah Nakula mengusap pundak Ibu berusaha menenangkan sementara Ibu sendiri bersandar pada sofa sembari memijat keningnya yang berdenyut nyaring.
...
"Bu, tolong tenang sedikit.."
"Anak ku hilang dan kalian menyuruh ku untuk tenang!?"
Nakula hanya tersenyum kikuk ketika Ibu dengan berani meneriaki dua lelaki berseragam polisi di depan rumah-nya sendiri. Rinjani hilang. Ibu dengan sikap panik-nya terlebih dahulu menelfon Nakula sebelum akhirnya menelfon polisi.
"Coba di jelaskan lebih detail lagi bagaimana kondisi fisik anak Ibu sebelum menghilang agar kami mengerti."
Salah satu dari polisi itu kelihatan sudah lama menjabat sehingga melihat seorang Ibu yang panik karena kehilangan anak sudah menjadi hal yang biasa untuk-nya, dia bertanya sekali lagi dengan sabar dan sopan tanpa mengurangi rasa hormat sekalipun. Tipikal petugas yang mendedikasikan diri untuk membantu masyarakat yang sedang kesusahan.
"Sudah saya jelaskan, anak itu lucu, rambut-nya di kuncir pakai jepit yang lucu, suara-nya lucu dan memakai pakaian yang lucu. Kenapa kalian tidak mengerti juga sih?!"
"Kami sama sekali tidak mengerti!"
Sementara petugas lain berbicara dengan nada yang gemas, mungkin dia adalah petugas baru sehingga tidak bisa menahan emosional ketika menanggapi nada bicara Ibu yang berteriak dan menjelaskan segala sesuatu dengan tidak jelas.
Ibu tertunduk dengan tangisan yang semakin keras, kedua telapak tangannya menutupi wajah dengan rasa khawatir yang mendalam
"Pokoknya.. Pokoknya tolong cari Rinjani.. Dia anak perempuan ku satu-satunya, aku mohon. Jika dia terluka maka, maka—
Nakula mundur dua langkah ketika Ibu mengepalkan tangannya seperti siap untuk melayangkan pukulan ke siapapun yang sedang berada di hadapan-nya saat ini, hawa jahat juga langsung mengelilingi hingga membuat kedua polisi ikutan menjaga jarak. Takut jika Ibu jadi gelap mata dan berakhir memukuli kedua polisi tersebut.
Dengan satu helaan nafas, Ibu berteriak dan membuat burung-burung berterbangan dari pohon.
"Maka siap-siap terima ganjaran-nya, sialan!!"
"Bu, tolong tenang dulu.."
Polisi yang kelihatan baru itu berusaha menenangkan Ibu dengan wajah panik. Entah kenapa dia percaya bahwa perempuan ini tidak main-main dengan kata-kata-nya, dia pasti benar-benar akan membunuh penculik itu jika Rinjani pulang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Ehem.. Jadi pak polisi.."
Nakula berdehem sebelum menghampiri polisi senior yang hanya memperhatikan kawan-nya berusaha memegangi dan berusaha menenangkan Ibu yang hampir mengamuk.
"Nama anak itu Rinjani, berkelamin perempuan. Rinjani memakai dress berwarna hitam polos saat terakhir kami melihat-nya sore ini, dengan rambut yang diberikan hiasan pita berwarna merah, mata-nya berwarna coklat terang dengan dua lesung pipi ketika dia tersenyum. Untuk tinggi-nya sendiri mungkin baru sepaha orang dewasa, umur-nya 4 tahun dengan gigi depan yang sudah goyang. Apakah penjelasan seperti ini cukup?"
Polisi senior itu dengan gesit mencatat seluruh penjelasan Nakula dan mengangguk. "Kita akan bantu cari sebisa mungkin di sekitar kota untuk Bapak dan Ibu apakah bisa membantu dengan menelfon beberapa kerabat? Untuk memastikan jika mungkin Rinjani ikut main dengan mereka atau jika mereka melihat Rinjani di suatu tempat hari ini."
Nakula mengangguk sebagai jawaban, kedua polisi itu segera pergi dengan mobil dinas mereka setelah Nakula menarik tangan Ibu untuk masuk kedalam rumah.
"Jani... Jani kemana..."
Nakula menghela nafas namun tidak berusaha menghentikan keresahan yang sedang Ibu alami. Nakula hanya yakin jika Rinjani pasti tidak pergi terlalu jauh karena anak itu pintar menghafal jalan pulang.
"Kak, Jani pasti ketemu kok. Dia pasti pulang."
"Kalau tidak pulang- kalau tidak pulang bagaimana, Naku? Gue gimana?"
Nakula menuntun Ibu untuk duduk di sofa dan memberikan-nya air minum, Nakula hanya sibuk mengusap pundak Ibu sembari tangan-nya yang lain tidak berhenti menelfon beberapa orang yang mengenal Rinjani termasuk guru TK-nya tapi serentak orang-orang itu menjawab bahwa mereka tidak melihat Rinjani sama sekali hari ini dan tidak memiliki janji apapun untuk menemui Rinjani di hari libur-nya.
Nakula hampir menutup mata dengan kerutan di dahi-nya jika saja pintu rumah tidak diketuk setelah itu dan membuat Ibu lebih dulu bangkit untuk membuka pintu,
"Rinjani!"
Rinjani ada disana dengan badan yang kotor serta dua orang polisi yang sebelumnya datang untuk diminta bantuan mencari Rinjani, polisi senior kelihatan tersenyum tenang melihat Ibu dan Rinjani yang berpelukan sembari menangis kencang sementara polisi junior hanya membuang muka ke arah lain.
Nakula memberikan terima kasih yang sangat mendalam pada kedua polisi itu dan menawari untuk masuk kedalam rumah dulu namun mereka menolak karena masih terlalu banyak urusan.
"Rinjani di temukan duduk di bawah pohon rindang dekat jalanan kota, kami memberitahu Rinjani kalau Ibu-nya sedang menangis dirumah lalu setelah itu baru mau dibawa pulang. Mungkin sesuatu yang tidak orang dewasa mengerti sudah terjadi pada Rinjani apakah boleh jika saya menyarankan Rinjani untuk dibawa bertemu dokter anak?"
Nakula terpaku mendengar-nya namun sekali lagi berterima kasih pada polisi karena sudah dibantu dan memberikan saran, saran tersebut tidak diterima bulat-bulat oleh Nakula namun menjadi pertimbangan yang sangat penting untuk diri-nya sendiri ketika mendengar itu.
Rinjani sudah selesai mandi dan makan, dia tertidur di pangkuan Ibu-nya setelah itu dengan Nakula yang masih duduk disamping Ibu.
"Apakah.. Kondisi Jani lebih mengkhawatirkan dibandingkan apa yang kita bayangkan, Kak?"
Ibu sepertinya juga memikirkan hal itu karena ketika mengobrol dengan Rinjani untuk bertanya apa yang dia lakukan disana, anak kecil itu menjawab dengan cerita yang berbanding terbalik dari apa yang polisi katakan.
Sesuatu soal pohon besar dan ladang rumput luas yang tidak Rinjani ketahui letak-nya, membuat Ibu hanya bisa terpaku dalam diam ketika mendengar semua itu
"Kalau seperti itu, haruskah kita membawa-nya ke dokter?"
Nakula bertanya yang dijawab dengan gelengan oleh Ibu,
"Jani tidak boleh sampai menginjakkan kaki di tempat seperti itu."
Nakula pun terdiam mendengar-nya, bagaimanapun seluruh keputusan ada di tangan Ibu selaku orang tua tunggal Rinjani. Nakula tidak bisa melakukan apapun. Meski saat ini Nakula hanya bisa menatap sedih pada Rinjani yang terlelap dengan mata bengkak di pangkuan Ibu-nya.
...
Aku mengerjap perlahan. Sinar matahari memaksa masuk lewat tirai jendela kamar yang ku tutup rapat sejak tadi malam terlelap, dengan jantung yang berdetak tak karuan, aku menghela nafas panjang.
"Mimpi lagi.."
Sejujurnya, aku sering sekali bermimpi soal kenangan masa kecil namun dengan pandangan cerita yang berbeda dan semalam yang memaksa masuk ke dalam mimpi ku adalah saat dimana aku menghilang ketika sedang bermain sendirian di depan rumah. Itu adalah saat pertama dimana aku mengobrol dengan Semesta.
Aku ingat lagi hari itu tengah bermain sendirian di depan rumah, menunggu Ibu yang sedang sibuk mencuci pakaian dibelakang. Tiba-tiba ada suara lembut yang memanggil nama ku berkali-kali hingga aku yang saat itu baru berumur 4 tahun penasaran dan menganggap bahwa panggilan lembut itu datang dari seseorang, makanya menggunakan insting bocah ingusan aku hanya berjalan menjauhi rumah.
Aku tersadar ketika aku bergumam kata-kata Ayah dan melihat pohon besar di hadapan ku, aku yang terkejut pun melangkah mundur hanya untuk tersandung sebuah akar pohon tersebut dan jatuh terduduk. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri namun yang ku temukan hanya ladang seluas lapangan dengan pohon besar tersebut berpusat di tengah-tengahnya. Hari itu, semua yang ku lihat seperti itu.
Namun saat ku coba jelaskan pada Ibu esok harinya, Ibu bilang bahwa aku ditemukan di pinggir jalan dengan badan yang dipenuhi lumpur. Sampai saat ini aku tidak begitu mengerti apa yang terjadi hari itu bahkan ketika mulai akrab dengan Semesta dan memberanikan diri lagi untuk bertanya pada Ibu, beliau hanya bilang bahwa aku berhalusinasi
Itulah alasan kenapa Semesta selalu berkata bahwa dia menemukan ku di penghujung ajal. Mungkin memang hari itu, Semesta berniat membawa ku pergi namun urung ketika melihat ku hanya seonggok bocah kecil yang masih menangis ketika tahu diri-nya tersesat. Aku bertanya-tanya apa yang akan Semesta lakukan jika aku benar-benar mengikuti-nya sampai tempat-nya berada?
Hari ini adalah hari libur, ketika aku turun kebawah dan melihat Ibu sudah duduk diatas meja makan pun aku keheranan.
"Jani?"
Ibu mendongak dan melihat ku, tersenyum dengan wajah bengkak yang sangat pucat.
"Apa.. Ibu sakit?"
Aku bertanya namun Ibu menjawab dengan gelengan kepala, dia hanya berdiri untuk mengambil piring dan menyiapkan dua buah roti berisi selai coklat bersanding dengan susu putih hangat. Aku pun duduk di meja makan, berhadapan dengan Ibu.
Entah saat itu hanya perasaan ku saja atau bagaimana tapi aku baru sadar kalau Ibu semakin kurus. Bentuk tubuh kuat-nya yang sering ku lihat saat kecil dulu entah kenapa menghilang dan seluruh perasaan ketakutan kembali menyeruak, persis seperti saat aku tahu bahwa aku kehilangan arah untuk pulang kerumah di umur 4 tahun hari itu.
"Ibu sakit ya?"
Aku bertanya sekali lagi dan Ibu pun masih menggeleng, senyuman-nya tidak lepas dari bibir pucat itu.
"Bohong."
Aku menunduk dengan kedua tangan terkepal diatas paha sendiri, rasa takut dan marah itu menjadi satu dan membuat ku pening.
"Ibu berbohong."
"Jani-
"Ibu pembohong."
Kenapa? Kenapa bahkan dihadapan ku? Aku tahu Ibu bahkan tidak tidur semalaman dan hanya menangis dibawah bantal agar suara isak itu tidak terdengar. Selalu seperti itu, kejadian-kejadian menakutkan itu terjadi ketika aku memilih untuk terlelap lebih dulu dibandingkan Ibu. Aku membenci itu.
Aku bertanya dengan baik, berharap Ibu mau mulai bercerita soal gundah gulana yang sedang beliau rasakan. Namun hasil-nya benar-benar nihil. Aku seperti di kesampingkan terus menerus ketika pertanyaan kenapa selalu keluar dari mulut ku.
Sebenarnya aku ini siapa?
Bukankah aku anak Ibu?
Bukankah seharusnya Ibu mencurahkan segala isi hati-nya pada ku? Pada anak-nya ini?
"Rinjani, Ibu sehat-sehat saja-
Kata-kata Ibu harus terpotong dengan amukan ku. Tanpa bisa ku pastikan bagaimana itu terjadi, aku melempar piring dan gelas diatas meja makan hingga jatuh ke samping meja makan. Membuat isinya berserakan di lantai dengan Ibu yang masih duduk diam dihadapan ku sementara aku berdiri, menunduk dengan kedua tangan menopang tubuh di meja makan.
"Kenapa? Kenapa bahkan dihadapan ku Ibu tidak bisa menjadi diri sendiri? Kenapa di hadapan ku pun Ibu harus pura-pura seperti orang yang paling bahagia di dunia ini? KENAPA HARUS DIHADAPAN KU?!"
Ini pertama kalinya. Pertama kalinya aku mengamuk dan dihadapan Ibu pula kelakuan jelek seperti ini terjadi. Aku tidak berani melihat bagaimana ekspresi Ibu, fokus ku pada saat ini adalah amukan yang ingin ku keluarkan sejak kemarin merasa muak melihat semua orang seakan menutupi banyak hal dengan topeng khawatir mereka dihadapan ku.
"Selalu aku. Ibu tidak menceritakan banyak hal hanya pada ku sementara jika itu berhubungan dengan ku Ibu selalu ingin tahu, Ibu selalu bisa membaca seluruh rasa sedih ku. Tapi kenapa jika itu soal Ibu, seakan-akan aku hanya menjadi sebuah aib jika kalian sebar luaskan? Kenapa hanya aku?!"
Aku mendengar suara langkah kaki yang sangat pelan dari belakang ku. Bisa ku tebak itu adalah Nakula yang mungkin terbangun dengan suara keributan ini.
"Bahkan soal Ayah.. Ibu hanya bilang bahwa dia adalah pria yang penyayang dan baik hati, lalu kenapa.. Jika dia sebaik itu.. Kenapa dia tidak ada disini? Kenapa dia meninggalkan Ibu dan Aku?!"
Mungkin seluruh perkataan ku adalah apa yang ku pendam sejak tahun-tahun setelah aku dinyatakan dewasa dan bisa berfikir sendiri, mempelajari seluruh baik dan buruk-nya dunia. Tapi bersama rasa ketidak perdulian itu, aku memilih untuk tutup mata dan enggan mempertanyakan siapa pasangan Ibu sehingga aku berhasil ada di dunia ini.
Tapi entah sejak kapan, aku mulai penasaran soal hal-hal yang selalu mereka gantung. Perkataan mereka seakan tidak pernah selesai dan semakin banyak lagi pertanyaan yang tak bisa terjawab, sudah 20 tahun tapi Ibu tetap enggan membuka mulut tentang beberapa hal. Apakah dia tidak percaya pada ku? Apakah sulit untuk Ibu menceritakan bagaimana dia bisa melawan dunia ini?
"Rinjani-
"Ibu benar- benar pandai dalam menutupi semua hal. Ibu bahkan pandai bersandiwara dihadapan ku seakan Ibu sudah berhasil menaklukkan dunia tapi mana? Apa yang bisa aku mengerti selain harus melihat Ibu kelelahan pada pagi hari bersama wajah yang penuh bekas air mata namun aku tetap di paksa untuk diam?!"
Suara ku tercekat hingga Ibu bangun dari duduk-nya dan berusaha menggapai ku, namun aku yang sudah kepalang sedih dan marah mengambil langkah mundur sembari menepis tangan-nya. Bangku yang berada di belakang ku sampai jatuh lalu ku dengar langkah kaki pelan berjalan mendekat tapi berhenti lagi hanya beberapa langkah untuk menjaga jarak dari ku.
Pertanda jika Nakula enggan ikut campur.
"Rinjani, kamu keterlaluan. Masuk ke kamar!"
Ibu tidak pernah marah pada ku. Sejak dulu, Ibu bahkan enggan meneriaki ku ketika aku tidak membereskan mainan di rumah lalu darimana asal keberanian itu hingga Ibu menatap ku dengan tatapan yang penuh dengan amarah. Sejak kapan Ibu menahan seluruh emosi-nya pada ku?
"Keterlaluan? Apakah aku yang ingin mengetahui asal usul orang tua ku sendiri adalah anak yang keterlaluan? Lalu bagaimana dengan Ibu, yang bisa hamil tanpa seorang suami dan membesarkan anak-nya sendirian? Apakah Ibu tidak keterlaluan?"
Setelah perkataan itu, pipi kiri ku terasa sangat nyeri. Ulu hati ku juga langsung sesak tak karuan seakan apa yang baru saja di tampar bukanlah pipi kiri ku melainkan bagian dada ku. Aku terpaku sebentar demi mengkoreksi apa yang baru saja terjadi selain Ibu yang terengah-engah dengan tangan yang masih berhenti di udara selepas menampar ku.
Ah, jadi begini hasil teriakan ku membangunkan Ibu.
"Begitukah respon Ibu setelah kalah?"
Aku yakin Nakula juga sama kaget-nya. Dari dulu pun Nakula enggan ikut campur ketika aku dan Ibu memiliki pemikiran yang berbeda namun pertengkaran seperti ini pun sama pertama kali-nya untuk Nakula.
"Begitukah cara Ibu tetap melindungi diri sendiri setelah semua yang ku rasakan mampu ku utarakan?"
Ibu terlihat sangat marah. Tatapan mata-nya seakan tidak percaya bahwa aku berani berkata seperti itu. Aku menunduk dalam dan mundur sebelum akhirnya berbalik pergi keluar dari rumah setelah mengatakan,
"Lanjutkanlah. Aku akan mencari orang itu sendirian."
Nakula menghadang ku dengan badan besar-nya, menatap ku dengan tatapan sedih yang sulit dijelaskan.
"Dek, masuk ke kamar. Kita ngobrol saat semua-nya sudah tenang."
"Tenang? Bahkan saat aku tenang pun kalian tidak menghampiri ku untuk bercerita lalu buat apa lagi aku tenang?"
Nakula berusaha menggapai tangan ku namun aku mundur selangkah, menjaga jarak dari pria itu.
"Seperti kata ku, jika kalian enggan memberi tahu maka terus lah seperti itu. Aku akan mencari tahu semua-nya sendirian."
Nakula tidak berkata apapun. Pria itu bahkan membiarkan ku pergi dengan bantingan pintu rumah yang cukup kencang. Nakula tidak bertindak sendirian, semua hal yang dia lakukan saat ini maupun sejak dulu atas perintah dari Ibu.
Ibu ingin seperti ini, Ibu ingin seperti itu. Sehingga Nakula tidak memiliki kebebasan apapun untuk masuk ke dalam masalah ini sebagai orang luar. Untuk Nakula, jika aku tidak bisa diajak berdiskusi dengan tenang maka akan lebih baik jika melihat keadaan Ibu dulu yang sampai aku pergi pun tidak berkata sepatah kata pun.
Aku berlari keluar dari rumah, tanpa menoleh lagi.
Komentar
Posting Komentar