7
Cerita Dari Saujana.
"Nirmala?..."
Nirmala Roshan Tara, nama lengkap-nya. Tepat seperti nama itu sendiri, Nirmala adalah perempuan cantik. Tanpa cacat sama sekali yang sorot mata-nya selalu bercahaya seperti bintang di langit.
Nirmala menjadi ciptaan paling memukau yang pernah Saujana lihat. Wajah-nya selalu berseri-seri dengan tatapan mata yang selalu memiliki banyak mimpi.
Sebelum semua-nya menghilang.
Hanya dalam satu malam, Saujana mendapati Nirmala menangis terisak-isak. Ini pertama kali-nya—untuk Saujana menonton dengan tragis penampakan seorang perempuan yang selalu menyunggingkan senyum dengan gigi cerah-nya atau bahkan kata-kata pedas-nya ketika melawan seseorang yang sudah mengusik ketenangan hidup-nya sedang merasakan kehancuran hidup yang baru pertama kali dia rasakan selama bernafas di dunia.
"Nirmala?..."
"Kakak.. Kakak.."
Saujana merasa seperti perutnya dihantam besi berat yang baru dimasukkan ke dalam tungku api panas, membuat-nya mual dan gelisah. Nirmala yang menangis hari itu tapi entah kenapa seluruh dunia Saujana ikutan runtuh. Untuk Saujana, Nirmala sudah seperti adik-nya sendiri. Berpaut umur yang cukup jauh membuat Saujana sering sekali melihat kebelakang ketika diri-nya masih seumuran Nirmala.
Saujana di umur Nirmala hari itu adalah pria yang hampa. Tidak memiliki mimpi apapun. Tapi Nirmala berbeda. Perempuan itu datang membawa sekeranjang buah-buahan segar dan membagikan-nya pada siapapun yang dia temui, menebarkan senyuman yang merangsang orang lain ikut merasakan energi baik yang sama ketika Nirmala berada di sekitar.
Mengenal Nirmala membuat Saujana semakin sadar arti sebenarnya soal kehidupan yang kacau dan kejam ini. Seperti segenggam pupuk, Saujana mulai ikut tumbuh dengan baik dan melanjutkan kehidupan-nya dengan mimpi-mimpi yang hampir sama seperti yang Nirmala miliki.
Berkali-kali dalam semalam Saujana kerap menangkup kedua tangan untuk mendoakan Nirmala akan kebaikkan-kebaikkan yang sudah dia lakukan selama hidup-nya, berharap Nirmala sendiri juga dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki rasa kasih sayang sebesar diri-nya sendiri.
Saujana iri sekali ketika melihat Nirmala di usia belasan-nya berceloteh dengan sangat riang soal rencana-rencana kehidupan-nya lalu kenapa sekarang jadi seperti ini? Kenapa Nirmala bisa jadi sehancur ini dalam satu genggaman erat manusia lain?
Mana jawaban atas doa-doa yang sudah Saujana langitkan khusus dengan memanggil nama Nirmala setiap malam-nya?
"Nirmala, tarik nafas. Tenang."
Saujana ikutan berlutut dan menyentuh kedua bahu Nirmala. Memegang erat demi bisa mempertahankan sisi manis perempuan itu. Saujana takut sekali. Pria itu takut Nirmala akan kehilangan diri-nya sendiri.
"Kenapa, Nir? Tenangin diri. Ayo cerita pelan-pelan, gue ada disini."
"Kakak.. Kakak.."
"Iya, Nir. Kakak disini."
Saujana dalam hati meringis. Bingung.
Dia ingin segera tahu alasan dibalik tangisan serta erangan kesakitan Nirmala. Dia ingin segera memaksa perempuan itu membuka mulut apa yang sebenarnya terjadi.
Nirmala tidak pernah seperti ini.
Nirmala yang Saujana kenal adalah perempuan yang tidak menangis soal hal-hal kecil. Tangisan Nirmala saat ini adalah tanda bahwa sesuatu yang besar dan menyakitkan sudah terjadi.
"Cerita, Nirmala. Cerita. Ayo kita cari solusi-nya bareng-bareng."
Nirmala terlihat menggeleng pelan dalam tangis-nya. Posisi perempuan itu kini duduk dilantai dengan dua lutut ditekuk, wajah-nya habis diselimuti kedua tangan-nya sendiri yang terlipat disana.
"Tidak ada, aku ingin mati."
"Nirmala!"
Saujana menggoyangkan tubuh Nirmala dengan horor.
"Semua masalah ada solusi-nya dan mati bukan jalan keluar!"
Nirmala masih sesegukan. Dalam lantunan tangis-nya perempuan itu menggumamkan sesuatu tapi Saujana tidak begitu mendengar. Tangisan Nirmala terlalu mendominasi dan membuat tenggorokan perempuan itu bergetar.
"Nirmala?"
Saujana takut salah dengar. Takut salah tangkap.
"Hamil—
"Hah?"
Saujana terpaku.
"Aku hamil, kak."
Saujana bangun dari posisi-nya dan mundur dua langkah, ini adalah masalah yang tak pernah Saujana bayangkan akan terjadi dikehidupan Nirmala. Setidaknya satu dan dua hal tentang kesalahan-kesalahan kecil mungkin masih bisa terjadi tapi kejadian seperti ini di luar perkiraan Saujana.
Saujana kehilangan kata-kata sejenak. Sumpah serapah merambat di bagian otak Saujana tanpa aba-aba sama sekali. Banyak pertanyaan, penyesalan, kemurkaan yang Saujana pun bingung bagaimana cara menyampaikan-nya kepada Nirmala.
"Katakan, Nirmala."
Saujana bertumpu pada meja komputer, membelakangi Nirmala yang masih gemetar hebat diatas lantai.
"Siapa orang itu?"
Tapi sampai buku-buku jari Saujana memucat, Nirmala bergeming. Hanya ada isakan tangis yang didengar oleh Saujana sampai Saujana sendiri hampir kehilangan akal sehat dan ingin berteriak pada Nirmala.
"Orang itu akan bertanggung jawab kan, Nirmala?"
Saujana bertanya sekali lagi dengan harapan bisa mendapatkan jawaban yang bisa membuat Saujana merasa tenang sedikit. Namun nihil. Saujana berbalik menghadap Nirmala dan mendapati Nirmala masih dalam posisi yang sama seperti saat dia meninggalkan perempuan itu bersama rasa terkejut-nya tadi.
"Nirmala, jawablah. Setidaknya dengan anggukan mu itu."
"Aku tidak bisa, kak. Aku ingin dia bahagia."
"Terus kamu bagaimana? Kamu tidak menginginkan kebahagiaan yang sama?"
Nirmala menggeleng, mungkin habis sudah seluruh energi positif-nya hari itu. Mungkin Saujana terlambat. Nirmala sudah mulai mengembun dibawa angin dingin yang tiba-tiba masuk ke ruangan.
"Nirmala.."
Saujana mengusap kasar wajah-nya. Dia ingin berteriak kencang. Frustasi dan marah. Tapi kalau Saujana juga ikut-ikutan terbawa oleh kekalutan yang dialami-nya saat ini, bagaimana dengan Nirmala? Nirmala pasti sama kalut-nya. Nirmala pasti sama frustasi-nya.
Bagaimana..
Bagaimana caranya agar Saujana bisa merasa tenang demi memeluk dan menenangkan Nirmala yang sudah mulai gila?
Bagaimana..
Saujana menatap Nirmala sekali lagi.
Padahal Saujana selalu menjadi pribadi yang bisa berfikir secara instan. Mau sepanik apapun diri-nya menghadapi sesuatu pasti Saujana selalu bisa menahan emosi yang meledak-ledak.
Lalu kenapa sekarang Saujana merasa untuk pertama kali semasa hidup-nya sebodoh ini dalam mencari solusi?
Saujana menghela nafas beberapa kali. Memejamkan mata untuk membasahi isi otaknya yang mulai kering kerontang.
"Mungkin karena kamu terlalu baik kali ya, Nir."
Saujana kembali berjongkok dihadapan Nirmala yang tangis-nya kembali pecah mendengar perkataan Saujana. Air mata-nya jatuh bak air bandang kebawah tanah, semakin lama semakin deras. "Mungkin karena kamu terlalu baik sehingga kamu selalu mikir tidak apa. Tidak apa sakitin gue. Tidak apa tinggalin gue. Tidak apa ambil semua yang gue punya. Asal orang lain bahagia, kamu tidak apa ya, Nir?"
Nirmala menjawab dengan gelengan yang gusar. Dia pasti ingin sekali menjawab Saujana tapi seakan direnggut paksa seluruh kata-kata-nya, hanya gelengan lah yang bisa Nirmala lakukan.
Sementara Saujana tidak begitu mengerti arti dari gelengan yang baru saja dilakukan Nirmala. Kepala perempuan itu masih tertunduk, bersembunyi dilipatan tangan-nya yang bahkan membuat kuping-nya tuli dengan isak tangis-nya sendiri.
"Kamu akan selalu menjadi orang baik ya, Nir? Yang serba tidak apaapa kebahagiaan gue direnggut asal jangan kebahagiaan orang lain. Gitu ya?"
Saujana menjatuhkan telapak tangannya diatas puncak kepala Nirmala, mengelus-nya dengan lembut.
"Nirmala, kamu beneran orang baik ya."
...
Aku menatap Saujana yang bercerita dengan perubahan ekspresi yang terus berbeda ditiap-tiap momen-nya. Mungkin karena dipaksa mengulang rekam ingat yang sudah terjadi puluhan tahun lalu membuat Saujana beberapa kali tercekat, menelan ludah, baru melanjutkan cerita-nya lagi.
"Mas hanya hadir beberapa kali di samping Nirmala. Dua kali semasa kamu masih di dalam kandungan, sekali saat hari dimana kamu di lahirkan, lalu empat kali ketika kamu ada di dunia ini untuk merayakan ulang tahun mu setiap tahun-nya. Setelah itu Nirmala berkata bahwa Mas tidak perlu lagi hadir karena kondisi-nya sudah membaik."
Saujana menghela nafas lalu menatap kearah ku,
"Hanya itu yang bisa Mas ceritakan, tidak menjawab pertanyaan Jani ya?"
Aku menggeleng. Sejujurnya memang tidak terjawab seluruh pertanyaan ku tapi setidaknya aku jadi mengetahui betapa hancur-nya dunia Ibu saat mengetahui sedang berbadan dua.
"Sampai sekarang Ibu tidak memberitahu siapa pria yang sudah menghamili-nya hari itu?"
Saujana terdiam, ku lihat kedua telapak tangan-nya mengepal erat. Kondisi ini tentu membuat jantung ku berdetak kencang, menunggu jawaban.
"Tidak pernah, sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa pria itu. Nirmala pintar menutupi-nya."
Aku menghela nafas, entah itu kebohongan lain atau memang sebuah kejujuran yang Saujana katakan tapi aku tidak mendapatkan jawaban yang ku mau. Bahkan jika Saujana mengetahui siapa pria itu tidak mungkin Saujana akan memberitahu ku secara gamblang seakan kami memang sangat akrab apalagi mengingat bagaimana kondisi ku saat ini.
"Ternyata Ibu sehancur itu ya, Mas." Aku menjawab dengan suara gemetar, siap menumpahkan tangis sekali lagi.
"Nirmala pernah sehancur itu tapi Mas juga melihat bagaimana Nirmala berusaha merapihkan diri-nya sekali lagi."
Sebuah usapan lembut datang dari kepala ku, tangan Mas Saujana entah dari kapan sudah berada disana.
"Dan semua yang dia lakukan saat itu sampai hari ini adalah demi kamu, Rinjani."
Sepertinya usapan yang menenangkan ini yang membuat Ibu bertahan dan memutuskan untuk melanjutkan hidup bersama dengan ku, mungkin malam itu jika tidak bertemu dengan Saujana, Ibu akan benar-benar menyerah.
Aku rasanya tidak lega. Padahal semua hal yang sudah Saujana ceritakan adalah permintaan ku tapi entah kenapa aku malah semakin sedih. Mungkin mengetahui bagaimana Ibu berjuang atas apa yang sudah terjadi di masa muda-nya membuat aku jadi semakin merasa tidak tenang.
Ini adalah... Perasaan bersalah.
"Lalu kenapa Ibu menutupi semua hal dari ku? Aku bahkan tidak tahu siapa Ayah dan bagaimana wajahnya, apakah itu semua adil untuk ku? Mas, aku hidup tanpa tahu apapun soal keluarga ku sendiri."
Saujana menghela nafas,
"Apa yang akan kamu lakukan jika semua pertanyaan mu terjawab?"
"Aku hanya ingin tahu. Aku tidak akan melakukan apapun."
"Lalu bagaimana jika semua jawaban itu adalah jawaban yang lebih tidak adil bagi mu?"
Aku terdiam.
"Bagaimana jika semua pertanyaan yang kamu tanyakan akhirnya ter-jawab namun jawaban-nya justru membuat mu merasa lebih tersiksa dibandingkan saat kamu tidak mengetahui apapun?"
Saujana menatap ku dari atas sampai bawah,
"Bukankah mendengar cerita barusan juga tidak membuat mu puas, Jani? Lalu kenapa kamu masih mencari jawaban yang lain?"
Aku menggeleng, "Aku bukan-nya tidak puas, hanya saja—
"Hanya saja kamu jadi merasa bersalah?"
Apa-apaan..
Aku menggertak-kan gigi ku bersamaan dengan mulut yang terkatup, tidak bisa menjawab.
"Rinjani, hanya satu hal yang harus kamu tahu saat ini adalah Nirmala berusaha dengan sangat keras agar bisa sehat selama membesarkan mu."
Mungkin itu benar.
"Saat ini, pemberontakan mu hanya bertujuan untuk mengetahui dari mana kamu berasal bukan? Bertanya pada ku dan Nakula tidak akan memuaskan rasa haus mu, seharusnya Nirmala lah yang menceritakan semuanya."
"Tapi Ibu tetap diam dan mencari banyak alasan untuk tidak menjelaskan-nya kepada ku, Mas."
"Tentu. Karena Nirmala tahu, Nirmala yang paling mengerti betapa sulit proses melupakan itu. Menurut mu apa yang akan terjadi jika Nirmala dipaksa untuk memutar balik seluruh pengalaman pahit-nya demi bisa menjelaskan semuanya kepada mu?"
Aku menunduk. Kesedihan itu merambat hingga dada ku sesak sendiri namun sepertinya Mas Saujana tahu perubahan suasana yang mencekik ini agak menyebalkan bagiku, telapak tangan-nya kini berusaha menenangi ku dengan mengusap lembut kedua bahu ku yang masih diselimuti baju tidur bekas tadi pagi.
"Mas kurang mengerti bagaimana perasaan kamu saat ini tapi saat Nirmala sedang salah kaprah akan dunia-nya, Mas berada disana."
Saujana menghela nafas sekali lagi,
"Bukan berarti Mas membela Nirmala, bukan Mas merasa posisi Nirmala yang paling sulit, tapi sebagai Ibu pun Nirmala sudah berusaha dengan sangat keras untuk bisa terus hidup bersama mu."
Bayangan tentang bagaimana Ibu selalu tersenyum dihadapan ku, saat Ibu berteriak geger karena aku baru bisa naik sepeda dan terjatuh di halaman rumah, saat Ibu memeluk ku erat pada perayaan ulang tahun ku yang ke-5, saat Ibu menangis karena harus meninggalkan ku pergi dinas keluar kota, mulai berputar seperti kaset rusak.
Ternyata Ibu banyak mengeluarkan ekspresi selama membesarkan ku. Banyak mengeluarkan emosi dan menunjukkan betapa besar kasih sayang-nya, tapi untuk beberapa hal aku merasa Ibu memiliki pribadi yang sangat tertutup.
Entah itu demi melindungi aku dan dunia ku atau demi melindungi diri-nya sendiri beserta rasa trauma-nya, yang pasti Ibu selalu menghindar soal pembicaraan-pembicaraan yang akan membuat ku mengarah pada masa lalu-nya.
Untuk ku, Ibu adalah orang yang sulit di tebak.
Malam itu, Saujana memutuskan agar aku menginap dirumah-nya. Aku disiapkan baju bersih serta makan bersama diatas meja makan dengan keluarga kecil-nya. Rumah Mas Saujana bukan rumah yang besar seperti rumah Ibu, namun disini semuanya lengkap.
Ada Ayah, Ibu dan dua anak kecil yang mulai tumbuh besar bersamaan. Aku merasa sangat asing. Meski Saujana melihat ku dari lahir namun diri ku sendiri tidak begitu dekat dengan keluarga-nya.
Kami hanya bertemu beberapa kali dalam acara-acara yang di adakan oleh teman-teman Ibu, entah atas alasan apa aku memutuskan untuk melarikan diri kerumah Saujana namun ini adalah pilihan yang lebih pantas ketimbang harus ke rumah Gio atau bahkan Nakula yang ku yakini sampai sekarang masih berada dirumah untuk menenangi Ibu.
Meski tidak banyak, Saujana membeberkan sebuah fakta yang selama ini tidak ku ketahui. Setidaknya aku mengetahui betapa hancur-nya dunia Ibu ketika mengetahui sedang mengandung sebuah janin tanpa status pernikahan dengan siapapun.
Malam-nya, aku mengintip dari anak tangga untuk melihat Saujana yang sedang duduk di kursi meja makan. Kelihatan sedang menelfon seseorang.
Ketika mendengar suara langkah kaki, Saujana menoleh dan melihat ku yang menghampiri-nya dengan wajah sembab.
"Aman aja, gue kabarin lagi nanti. Lo baik-baik ya."
Setelah menutup telfon—yang bisa ku tebak bahwa disebrang sanah adalah Ibu, Saujana bangun dan berjalan ke arah pantry dapur. Menuangkan segelas air putih untuk diberikan-nya pada ku yang sudah sampai disebelah-nya.
"Sudah, tidak perlu terlalu dipikirkan."
Aku tersenyum kecil pada Saujana. Sudah tidak memiliki energi lagi untuk membalas. Ada rasa tidak ikhlas ketika mengetahui Saujana melakukan panggilan telfon dengan Ibu karena pasti Ibu saat ini sudah mengetahui dimana keberadaan ku dan mungkin sedang bersiap untuk menjemput.
"Nirmala tidak akan datang."
Aku melihat Saujana yang sudah kembali ke meja makan, setelah menarik satu kursi dan menyuruh ku duduk dihadapan-nya dia pun juga duduk disana.
"Tidak mungkin." Saujana terkekeh mendengar jawaban ku, "Mas sudah berbicara dengan Nirmala. Dia bilang, dia akan menunggu sampai kamu sendiri yang pulang ke rumah." Saujana menyesap kopi yang sudah sisa setengah gelas, ku tebak pasti percakapan antara Saujana dan Ibu berlangsung cukup lama. Itu artinya, mereka sudah mengobrol banyak.
"Tidak mungkin."
Aku masih berbisik tidak percaya akan jawaban Saujana. Bagaimanapun aku mengenal Ibu yang kepala-nya sekeras batu. Mungkin kalau dihantamkan ke tembok, malah tembok-nya yang hancur saking keras-nya kepala Ibu diciptakan.
Saat aku hilang saja Ibu mengamuk dan berniat mencari ku seorang diri lalu bagaimana dengan hari ini setelah mengetahui dimana aku tidur? Tidak mungkin jika—memang bukan malam ini tapi pasti besok pagi Ibu akan datang dan menyeret ku pulang.
"Rinjani memang-nya tidak bahagia punya Ibu seperti Nirmala?"
"Kenapa tanya seperti itu, Mas?"
Saujana melepas kacamata-nya, mengurut batang hidung-nya sebentar sebelum memakai kacamata itu lagi dan menjawab ku.
"Nirmala itu kan.. Ibu yang baik."
Memang.
"Lalu apa Rinjani tidak bahagia memiliki Ibu seperti Nirmala?"
"Aku bahagia kok."
Aku bahagia, sungguh.
"Tapi?"
Saujana bertanya lagi.
"Tapi aku tidak suka Ibu yang selalu sendirian. Ibu yang selalu menutup diri. Ibu yang selalu berusaha bahwa semua hal di dunia ini baik, padahal Ibu juga bisa memperlihatkan sisi lemah-nya pada ku. Ibu memang menangis saat aku dalam bahaya tapi saat Ibu sedang sedih soal hal lain, Ibu menutupi itu."
Aku memainkan gelas diatas meja.
"Buat Ibu, dia ingin aku selalu mempercayakan segala hidup ku pada-nya. Tapi untuk Ibu, sesulit itu harus mempercayai ku persoalan dunia-nya."
"Bukan sulit."
Saujana ikutan mengusap gelas-nya, memang yang ku tahu Saujana tidak pernah merokok sejak muda karena riwayat pernafasan-nya yang kurang bagus. Mengobrol tanpa sebatang tembakau ternyata bisa membuat ku nyaman, mungkin karena masalah-masalah ini cukup memenuhi otak dan hilang seluruh keinginan untuk menghisap lintingan itu.
"Apa yang membuat Rinjani jadi semarah ini pada Ibu?"
"Aku tidak marah, Mas. Aku hanya bingung, Ibu kesetanan saat aku menghilang tapi ketika aku berada di dekat-nya, dia tidak pernah mengatakan apa yang sebenarnya dia inginkan."
"Apakah Rinjani pernah bertanya langsung pada Nirmala? Apa yang sebenarnya dia inginkan?"
Aku terdiam.
Benar juga.
Aku tidak pernah bertanya.
"Rinjani, Mas yakin Nirmala banyak mengajarkan kamu soal cara hidup dengan gagah berani di dunia ini."
Aku mulai berkaca-kaca, Ibu memang selalu mengajarkan ku soal bagaimana cara-nya bertahan di dunia ini.
"Nirmala memperbaiki semua hal dengan benar. Dia berusaha menjadi contoh yang baik agar kamu tidak perlu merasa kekurangan, merasa kesusahan, apalagi merasa ketidak adilan hanya karena lahir dari silsilah keluarga yang berbeda dibanding keluarga orang lain."
Saujana benar-benar orang yang lemah lembut. Aku yakin postur tubuh-nya akan lebih tegap 20 tahun lalu, sosok seperti Saujana lah yang Ibu hadapi ketika hari kehancuran-nya datang. Seharian bersama Saujana membuka beberapa pintu yang sempat tertutup semenjak pertengkaran dengan Ibu.
Aku mulai melemah.
Aku mulai merasa malu.
Saujana mungkin berkata dengan cara yang sangat baik tapi seluruh perkataan-nya menampar ku berkali-kali. Aku seperti tidak tahu cara berterima kasih dan hanya memikirkan diri sendiri sebab hal-hal yang selama ini ku diamkan malah menjadi petaka akan emosi yang tidak terbendung.
Padahal awal masalah pun ada di diri ku yang pergi tanpa ingat bahwa aku harus terus mengabari orang rumah agar tidak terjadi kesalah pahaman. Aku yang berusaha mendapat ketenangan malah merenggut ketenangan orang-orang di sekitar ku.
Ibu seharusnya di luar kota selama satu minggu, pekerjaan-nya dipaksa berhenti hanya karena aku yang menghilang tanpa jejak. Dengan seluruh tenaga dan kesabaran yang Ibu miliki, dia masih bisa menyiapkan baju tidur dan air hangat untuk ku mandi sebelum aku pergi tidur malam itu. Masih sempat menyiapkan sarapan dengan wajah sembab ketika melihat ku turun dari kamar.
Ternyata dari semua emosi yang meledak pagi ini, gelap mata ku terima hanya karena aku merasa diri ku lah yang paling penting.
Aku melupakan banyak hal.
Aku lupa kalau Ibu meninggalkan pekerjaan-nya demi mencari ku, aku lupa kalau Ibu khawatir dan menangis semalaman di temani Mas Nakula, aku lupa kalau pemberontakan ku pagi ini merepotkan banyak orang, aku lupa kalau.. Ibu hanya memiliki ku di dunia-nya yang sangat besar dan sibuk.
"Rinjani?"
Aku menatap Mas Saujana, menggeleng pelan.
"Aku minta maaf, Mas."
Setelah itu aku bangkit tanpa menunggu jawaban dari Saujana. Kembali ke kamar tamu dan meninggalkan Saujana yang masih duduk diam di meja makan.
Aku menciptakan begitu banyak keributan hari ini sehingga kata maaf pertama yang bisa ku ucapkan hanya pada Saujana, aku merepotkan Saujana paling banyak karena dia harus menampung ku.
Saujana tentu tidak memiliki tanggung jawab untuk hal ini. Saujana bisa mendepak ku sesuka hati-nya karena kelakuan ku yang tidak bisa termaafkan. Namun dibanding kan memilih antara aku atau Ibu, Saujana memutuskan untuk bersikap adil.
Saujana mungkin tidak menceritakan semua hal yang dia tahu tapi tidak seperti Nakula dan Gio yang terus berkelit persoalan masa lalu Ibu, Saujana menceritakan sebuah masa kelam saat dia mengetahui bahwa Ibu sedang hamil.
Aku yakin akan ada banyak hal yang bisa ku buka perlahan, satu demi satu, hingga pada waktu-nya Ibu mampu menceritakan segalanya kepada ku. Aku yakin pada saat itu, reaksi ku sudah tidak seberlebihan hari ini.
Aku mungkin sudah lupa caranya menangis atau mengeluh setelah bertahun-tahun di paksa belajar arah mata angin sendiri, hanya agar aku tidak tersesat di tengah jalan pun Ibu hanya menarik ku perlahan agar kembali ke jalan yang benar. Yang tidak akan melukai ku.
Dari cerita Saujana, perasaan ku jadi campur aduk. Gambaran soal sosok Ayah semakin kabur dan digantikan oleh putaran gambar tentang bagaimana hancur-nya hidup Ibu hari itu. Aku yakin Ibu sudah hilang harapan, hari dimana dia mengetahui sedang mengandung seorang bayi adalah hari dimana Ibu pun menghilang.
Bubar sudah semua hal yang ingin dia capai di masa muda-nya, buyar sudah semua mimpi-mimpi indah yang ingin Ibu jadikan sebagai kenyataan, serta buyar sudah semua doa baik soal diri-nya sendiri.
Aku hadir sebagai perusak.
Aku hadir sebagai mara bahaya yang saat itu hampir membunuh Ibu.
Dan aku merasa bersalah.
Komentar
Posting Komentar