8

Petang Yang Mendebarkan.

Rinjani menatap sebuah bangunan megah di hadapan-nya dengan aneh, ini adalah tempat yang sangat asing bagi-nya. Ketika Rinjani menoleh kebelakang, hanya ada lapangan rumput yang sangat luas dimana Rinjani sendiri bahkan tidak bisa menemukan ujung dari tempat ini. Dari sudut ke sudut semua-nya sama, ini seperti kamu tersesat di tengah lautan yang dalam.

Saat sedang sibuk berfikir sebenarnya ini tempat apa, suara pintu terbuka mengejutkan Rinjani. Dia menoleh lagi ke arah bangunan bak istana tersebut dan mendapati pintu besar-nya sudah terbuka lebar, seakan bangunan tersebut pun menyambut kedatangan Rinjani. Entah ada apa namun Rinjani seperti terdorong dan masuk ke dalam bangunan megah tersebut.

Bentuk dalam-nya seperti rumah pada umum-nya. Ruang tamu-nya besar berkali-kali lipat dari rumah Rinjani sendiri. Ada tangga besar yang terpecah menjadi dua arah antara kiri dan kanan di tengah-tengah ruangan itu, Rinjani menelusuri seluruh ruangan dengan mata-nya terlebih dahulu.

"Apa.. Ini.."
"Selamat datang, Rinjani Mahaeru Yanuar."

Rinjani menoleh kaget, tiba-tiba sekali ada sosok yang Rinjani sulit untuk mengenali wujud-nya. Dia seperti tidak asing dengan suara itu namun seperti ada yang menghalangi pandangan Rinjani, dia hanya bisa melihat siluet tubuh dengan pakaian rapih.

Tapi aneh-nya, Rinjani tidak takut.

Melihat sosok di hadapan-nya justru membuat Rinjani bernafas lega.

Rinjani jadi merasa tidak sendirian.

"Siapa—
"Aku sudah menunggu lama."

Sosok itu kembali berucap namun belum sempat Rinjani bertanya, sosok itu berbalik dan berjalan naik ke tangga. Terus menjauhi Rinjani seakan memaksa Rinjani untuk mengikuti-nya. Kebingungan, Rinjani hanya bisa mengekor dari belakang dengan jarak yang cukup lebar.

Meski tidak ada perasaan takut namun Rinjani tetap merasa harus hati-hati karena ini adalah tempat yang tidak dia kenali dan sosok di hadapan-nya pun tidak memperkenalkan diri namun bisa memanggil Rinjani dengan nama lengkap-nya.

Seakan sosok dihadapan Rinjani saat ini sudah mengenal Rinjani dengan akrab. Seakan mereka adalah kawan lama yang akhirnya dipertemukan lagi hanya untuk berbincang kecil.

Sosok itu berjalan melewati lorong-lorong dengan hiasan lukisan di tiap-tiap dinding-nya, Rinjani menoleh ke kanan dan ke kiri selama perjalanan itu sembari mengingat apa sebelum-nya dia pernah berkunjung ke rumah sebesar ini.

Lukisan di dinding dibuat dengan sangat cantik. Hanya ada warna putih gading dan hitam di semua lukisan, namun semua bingkai terdapat lukisan dengan gambar manusia yang sama hanya berbeda-beda pose dan latar.

Semua bingkai itu melukiskan seorang perempuan muda yang cantik. Ada lukisan saat perempuan muda itu sedang duduk, perempuan muda itu sedang berkaca, perempuan muda itu sedang memasak, perempuan muda itu sedang bermain judi, dan masih banyak lagi. Tapi tidak ada orang lain dalam lukisan tersebut, perempuan muda itu berpose sendirian. Dilukis dengan perasaan kesepian.

"Maaf, kita dimana saat ini?"

Rinjani bertanya pada sosok di hadapan-nya,

"Sebentar lagi kita sampai."

Sosok itu tidak berbalik sama sekali namun langkah-nya semakin cepat, saat Rinjani mulai berfikir lorong ini begitu panjang seakan tak ada ujung-nya, mereka sampai di depan sebuah pintu berwarna putih bersih dengan dua gagang pintu di kiri dan kanan-nya.

Rinjani memperhatikan sosok itu mendorong pintu lebar-lebar dan berbalik menghadap-nya,

"Silahkan masuk, Rinjani."

Sosok itu bergeser sedikit, membiarkan Rinjani berjalan memasuki ruangan sebelum menutup kembali pintu. Ternyata itu adalah sebuah kamar. Ukuran-nya sama luas seperti ruang tamu dibawah tadi, ada dua pintu lain dalam kamar itu yang bisa Rinjani tebak sebagai walk room closet dan kamar mandi. Sisi kanan-nya terdapat sebuah dua jendela besar yang ditengah-nya ditaruh pintu kaca penghubung antar balkon, dari sini pun Rinjani bisa menangkap bahwa balkon itu tidak kalah luas dari kamar ini. Dekat jendela paling kiri ada meja bulat dengan dua kursi, sepertinya pemilik ruangan sering menghabiskan waktu disana sembari meminum teh dan membaca buku.

Ada meja rias panjang dengan satu kursi bulat, sebuah cabinet, lemari buku, serta lemari kaca yang.. Isi-nya kosong. Seluruh ruangan hanya memiliki satu warna, yaitu warna putih bersih. Sampai ke lantai-lantai pun di hiasi keramik marmer putih mengkilat dimana Rinjani hampir bisa melihat pantulan diri-nya sendiri disana.

Di tengah-tengah ruangan ada kasur queen size yang ditutupi kelambu tembus pandang, dari luar Rinjani bisa menemukan ada seorang wanita terbaring disana menggunakan gaun putih bersih. Rambut-nya panjang tergerai begitu saja diatas kasur dan seperti-nya perempuan itu dalam keadaan tertidur pulas.

Rinjani berjalan mengelilingi kasur, berusaha melihat siapa perempuan yang tidur tanpa merasa terganggu sama sekali itu. Namun meski kelambu yang menutup sampai keujung kasur itu tembus pandang, susah sekali untuk memastikan siapa yang ada didalam. Rinjani menggapai ujung kelambu, berusaha membuka-nya.

"Rinjani."

Rinjani menoleh, sosok itu berada dibelakang-nya. Seperti.. Tersenyum.

"Lebih baik jika kamu tidak membuka-nya."
"Apakah ada alasan-nya?"
"Hanya sebaik-nya."

Sosok itu berjalan ke dekat jendela dan duduk di salah satu kursi, Rinjani pun mengikuti karena mengurungkan niat-nya untuk melihat ke dalam kelambu. Dia duduk di hadapan sosok itu setelah menarik kursi.

"Sudah lama, aku ingin sekali duduk seperti ini dengan mu."

Sosok itu mulai berbicara, pandangan-nya mengarah keluar jendela.

"Sayang sekali aku baru diberi izin mampir setelah semua-nya menjadi tidak terkendali tapi aku harap, aku tidak begitu terlambat."
"Apa maksud mu?"

Sosok itu masih belum menghilangkan senyuman dari wajah-nya, dia menangkup tangan diatas paha. Duduk sesopan mungkin di hadapan Rinjani.

"Sekitar 40 tahun lalu, aku berkenalan dengan seorang perempuan cantik. Namun perempuan itu memiliki hidup yang sangat sibuk sampai untuk bertemu dengan-nya membutuhkan perjanjian yang cukup lama. Aku baru bisa berbincang setelah dia datang pada ku dalam keadaan meringkuk dan lemah, sesungguh-nya hari itu penyesalan ku sangat banyak."

Rinjani mendengarkan dengan seksama perkataan sosok di hadapan-nya,

"Aku merasa sangat terlambat. Kehadiran ku seperti membawa banyak petaka bagi-nya. Namun, aku berjanji bahwa mulai saat itu—sampai kapanpun, kan ku temani hidup-nya."
"Apakah.. Kamu menceritakan soal Ibu?"
"Jika yang kamu maksud adalah Nirmala Roshan Tara, maka jawaban-nya adalah benar."
"Siapa kamu? Kenapa kamu mengenal Ibu ku?"

Sosok itu menatap Rinjani dan tersenyum lembut, semakin lama bukan-nya semakin jelas, sosok itu perlahan malah semakin buram di mata Nirmala. Nirmala berusaha memfokuskan pandangan-nya, mengerjap beberapa kali.

"Siapa aku bukanlah hal yang penting, aku menemui mu untuk mencari sebuah sarana komunikasi yang paling aman dari dunia mu."

Sosok itu kembali menatap ke luar jendela, membuat Rinjani ikutan menoleh karena ingin mengetahui apa yang sebenarnya sedang dia lihat. Ternyata dari tempat Nirmala duduk, dia bisa melihat sebuah taman bunga matahari di luar. Rinjani keheranan, sebelum masuk ke dalam rumah ini, dia tidak melihat ada tanda-tanda sebuah taman bunga matahari disana. Rinjani tidak tahu apa saat ini area kamar menghadap ke depan rumah atau ke belakang rumah.

"Wahai Rinjani, Nirmala sejati-nya sudah mati. Jiwa-nya di renggut paksa oleh semua kejadian memilukan pada jaman muda-nya dulu. Saat ini, yang masih bersama dengan mu sebagai Ibu mu itu hanyalah cangkang kosong."

Sosok itu menunjuk ke arah kasur tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari luar jendela.

"Jiwa Nirmala terbaring disana."

Rinjani lantas menoleh ke arah kasur, dimana tergeletak perempuan muda tadi masih dalam posisi yang sama.

"Jangan bercanda."
"Sungguh akan lancang sekali diri ku jika membuat lelucon soal kematian seseorang."

Sosok itu kembali menatap Rinjani dan Rinjani balas menatap-nya, namun perasaan Rinjani kini sudah dihinggapi perasaan marah. Entah kenapa ada rasa tidak rela saat sosok itu membicarakan Ibu-nya. Apalagi sampai membawa tentang kematian.

"Aku hanya ingin meminta maaf pada mu, mungkin ke tidak hadiran ku juga menjadi alasan mengapa Nirmala bisa sampai melahirkan mu."
"Jangan bicara omong kosong terus. Apa yang kamu inginkan?"
"Aku hanya menginginkan mu untuk mencari seseorang yang sudah merenggut jiwa Nirmala secara paksa."

Ada seseorang yang merenggut jiwa Ibu... Secara paksa?

"Dan siapa orang itu?"

Sosok itu diam sebentar sebelum menjawab,

"Dia adalah orang yang pernah kamu temui setidak-nya sekali selama hidup. Cari dia dan cari tahu kebenaran-nya, setelah itu ku janjikan untuk mu—sebuah kehidupan yang tenang. Untuk Nirmala dan untuk mu, Rinjani Mahaeru Yanuar."

Rinjani baru mau membalasan perkataan sosok itu, sebelum pusing mendera dan kedua mata-nya seperti di tutup paksa. Rinjani mengeluh dan memegangi kepala-nya, pusing ini keterlaluan menyakitkan. Seumur hidup tak pernah Rinjani rasakan sakit yang sangat menyiksa ini. Tepat saat Rinjani akan kehilangan kesadaran-nya, dia mendengar sosok itu bersuara sekali lagi.

"Jika kamu sudah menemui-nya, kita akan bertemu lagi disini."

...

"Jani, Jani?"

Aku membuka mata saat merasakan badan ku digerak-kan pelan oleh seseorang, demi membiasakan cahaya memaksa masuk ke dalam kedua mata ku, aku mengerjap sebelum melirik ke kanan dan ke kiri.

"Rinjani?"

Aku mengeluh sebentar dan menoleh ke arah kiri untuk melihat siapa yang baru saja memanggil ku, "Mas Naku?"

Ternyata itu adalah Nakula. Aku bangun dan duduk diatas ranjang, melihat sekeliling yang ternyata aku masih berada di kamar tamu rumah Saujana. Aku berusaha mengingat kejadian yang baru saja ku alami, ku teliti kedua tangan dan seluruh badan ku untuk melihat apakah ada perubahan atau jejak-jejak kepulangan ku dari rumah itu.

"Ugh.."
"Jani?"

Aku memegang erat kepala ku. Aku ingin mengingat secara jelas apa yang baru saja ku alami. Ingin ku tanggapi sebagai bunga tidur tapi seluruh kejadian terasa sangat nyata. Namun entah kenapa banyak potongan-potongan yang tidak bisa ku ingat. Obrolan-obrolan itu jadi membisu bahkan sosok siluet itu pun tidak berada lagi di dalam kepala ku.

"Jani, kamu baik-baik aja?"

Nakula duduk diatas kasur dan berusaha menggapai ku namun aku menolak dengan cara mendorong-nya pelan.

"Maaf, Mas Naku. Aku sedang ingin sendiri. Boleh keluar sebentar?"

Aku melihat tatapan sedih dari Nakula namun ku abaikan.

"Baiklah, maaf mas masuk tanpa izin. Mas cuman mau bangunin kamu buat sarapan tapi tadi kamu seperti sedang bermimpi buruk jadi mas bangunkan. Kalau sudah membaik, turun kebawah ya."

Aku tidak menjawab apapun dan membiarkan Nakula keluar dari kamar. Aku menyandarkan punggung ku ke tembok, masih terduduk lemas diatas kasur, aku kembali memperhatikan kedua telapak tangan ku. Apakah seluruh kejadian itu hanya mimpi? Atau kelelahan ku membuat imajinasi ku jadi berkembang pesat di dalam tidur hingga tak bisa ku bedakan antara mimpi dan kenyataan?

Aku tidak tahu.

Yang pasti, hanya beberapa hal yang bisa ku ingat dengan jelas.

"Dia adalah orang yang pernah kamu temui setidak-nya sekali selama hidup. Cari dia dan cari tahu kebenaran-nya, setelah itu ku janjikan untuk mu—sebuah kehidupan yang tenang. Untuk Nirmala dan untuk mu, Rinjani Mahaeru Yanuar."

Seseorang yang pernah ku temui sekali selama hidup ku dan dia adalah kunci dari semua hal ini?

Tapi siapa?

Siapa orang yang pernah ku temui dan memiliki kemungkinan jika dia adalah orang-nya?

Aku berfikir keras sampai kuping berbunyi nyaring. Aku bahkan hampir muntah karena otak ku dipaksa terus menerus mengingat siapa saja yang pernah ku temui selama hidup ku.

Saat dirasa aku sudah cukup berfikir, satu nama muncul di otak ku dan terus mengerucut ke satu nama itu. Aku menggigiti kuku sembari memutuskan apa langkah selanjutnya dengan satu nama terakhir ini sampai sebuah ide muncul.

Pertanyaan seperti apa yang bisa memojokkan-nya sampai aku yakin bahwa dia-lah orang yang sedang ku cari.

...

Aku turun dari kamar tepat sebelum makan siang, saat menoleh ke ruang tamu, aku bisa melihat Rania—istri Saujanasedang disana sembari menonton TV bersama anak-anaknya. Aku tak menghiraukan itu, lanjut berjalan ke arah dapur dimana Nakula dan Saujana duduk diatas meja makan.

Ada gorengan dan dua cangkir kopi yang menemani mereka namun saat Saujana melihat ku datang, dia bangkit. Tersenyum ke arah ku.

"Duduklah, Rinjani. Mas mau ke ruang tamu dulu."

Aku tidak menjawab apapun. Menunduk hingga yang bisa kulihat hanya kedua telapak kaki ku.

"Rinjani?"

Ada debaran ekstrem yang ku rasakan saat mendengar Nakula memanggil nama ku. Aku panik setengah mati, kalut. Apa tebakan ku benar? Lalu bagaimana jika ternyata memang Nakula lah orang-nya? Aku tidak mau. Diantara semua orang, aku berharap Nakula bukanlah orang yang ku cari.

Katakanlah aku manusia yang jahat, namun hanya nama Nakula yang muncul di otak ku sebagai sosok ingin di temukan oleh orang di dalam mimpi ku. Aku hanya akan bertanya, aku tidak akan menuduh.

Aku mohon, Tuhan.

Dengan keberanian terakhir, aku berjalan mendekati meja makan dan duduk di hadapan Nakula. Posisi-nya sama persis seperti saat aku berbincang dengan Saujana semalam.

"Bagaimana keadaan mu?"

Aku mengangguk singkat ketika mendengar pertanyaan Nakula. Nakula hanya berdehem sedikit, mungkin pertengkarang ku dengan Ibu pun masih menjadi guncangan yang besar untuk-nya.

Nakula kelihatan jadi lebih berhati-hati. Pria dihadapan ku memiliki watak yang tidak pandai berbohong, apapun fakta yang dia sembunyikan sebetulnya mudah sekali untuk ku ketahui dimana dia membelok-kan perkataan-nya itu. Di saat-saat seperti inilah, Nakula akan jadi jauh lebih sembrono.

"Mas Naku."

Nakula berdehem menjawab ku, aku menatap lurus ke arah mata-nya yang dihiasi bulu mata lentik. Nakula adalah pria dewasa berkulit coklat khas laki-laki asli kota ini. Badan-nya besar dan bidang akibat olahraga yang sering dia lakukan. 

Aku yakin aku mengenal Nakula dengan baik. 

"Bagaimana keadaan Ibu?"

Aku bertanya demi mencairkan suasana. Padahal aslinya ada ketakutan yang meraup seisi paru-paru hingga aku kesulitan bernafas.

"Ibu tidak baik-baik saja, Jani. Dia sangat mengkhawatirkan mu."
"Apakah Mas datang untuk menjemput ku?" Nakula menggeleng, "Mas datang bukan untuk menjemput. Mas datang untuk mewakili Ibu, dia sangat ingin mengetahui keadaan mu."

Aku menunduk, menatap meja makan yang bersih. Piring berisi gorengan hanya sisa remah-remahnya saja.

"Jani, apakah ada yang ingin kamu tanyakan?"

Aku kaget sepersekian detik. Tidak mengerti apakah karena Nakula melihat ku tumbuh besar hingga setiap perubahan ekspresi selalu bisa dia pahami.

"Tanyakanlah, Jani. Jika jawaban dari mas membuat mu merasa lebih baik, tanyakan lah."

Nakula tersenyum, dia bangun dari duduk-nya dan jalan ke pantry. Ku dengar suara perabotan beradu dibelakang ku, tanpa melihat kebelakang pun aku sudah tahu Nakula pasti sedang mengambilkan segelas air putih.

Gerak-gerik ini membuat ku dejavu. Semalam, sebelum mengobrol dengan Saujana pun kejadian-nya sama persis seperti ini.

"Jani, mau makan dulu?"

Aku menggeleng sebagai jawaban, hanya berterima kasih dengan suara kecil ketika Nakula datang dan memberikan segelas air putih pada ku.

"Setelah mengobrol kita makan ya, Jani. Kamu tidak boleh sampai sakit."

Aku menatap Nakula yang terdapat cekungan cukup dalam di bawah mata-nya, pasti Nakula semalaman menemani Ibu yang rungsing soal kondisi ku. Mungkin setelah ini akan lebih baik jika aku meminta maaf pada orang-orang yang sudah ku repotkan sejak kemarin.

"Apakah Ibu punya rumah yang lain, mas?"

Aku mulai bertanya, berusaha mencari jawaban bahkan dari ekspresi Nakula sekalipun. Namun tidak ada denyutan kecil sekalipun dari kedua alis tebal-nya.

"Rumah lain?"
"Rumah selain rumah yang aku dan Ibu tempati saat ini."

Nakula membuat pose berfikir. Cukup lama hingga seluruh dahi-nya mengkerut karena mungkin mengingat apakah ada hal yang dia lewati selama cerita hidup Ibu.

"Tidak ada kok, Jani. Ibu membeli rumah pertama di tempat kalian saat ini, dulu-nya memang tidak sebesar sekarang tapi rumah itu mulai dalam tahap renovasi setelah Jani lahir. Apakah Jani ingat?"

Aku mengangguk. Memang seingat ku rumah itu dulu-nya tidak punya halaman belakang dan hanya satu lantai namun saat aku beranjak umur empat tahun, Ibu mulai merenovasi rumah kecil itu menjadi rumah yang cukup luas dengan iming-iming ingin memiliki tempat bersantai dan ruang kerja sendiri.

Lalu rumah yang ada di mimpi ku itu, rumah siapa? Aku memijat kening, berusaha mengingat sekali lagi soal hal lain yang bisa ku tanyakan pada Nakula selain bayangan soal rumah besar tersebut. Nihil. Aku tidak bisa mengingat apapun. Aku tidak bisa mengingat interior rumah itu, tidak bisa mengingat alasan dibalik mengapa aku harus mencari orang yang dipinta oleh sosok di dalam mimpi selain sebuah kalimat terakhir yang dia ucapkan itu.

Aku menghela nafas, rasa takut itu menghilang dalam sekejap. Mungkin pertanyaan ini tidak bisa menjadi penentu apakah Nakula adalah orang yang aku cari dan rasa bersalah mulai hinggap karena sudah berfikir bahwa Nakula adalah juru kunci dari semua ini.

Seperti yang pernah ku katakan, Nakula melihat ku lebih sering ketimbang orang lain—bahkan mungkin Ibu sendiri. Nakula selalu berada disana selepas resah yang ku alami dan sedih yang melanda hati, dia hadir sebagai seorang kakak dan teman cerita. Meski mungkin Nakula merelakan masa-masa romantisme-nya, aku beberapa kali mendengar cerita soal usaha-nya mendekati seorang wanita yang selalu berakhir gagal.

"Kenapa begitu, Mas?" Saat ku tanya alasan-nya Nakula selalu menjawab sama, "Mas pikir suatu hari nanti kalau kamu menikah, kamu membutuhkan seorang wali. Mas ingin menjadi seseorang yang duduk di kursi itu, kalau mas menikah bagaimana cara-nya mas membagi prioritas antara kamu dan keluarga mas?"

Aku pikir, Nakula mungkin jatuh cinta dengan Ibu. Tapi beberapa malam aku sering melihat Nakula menatap sebuah foto di ponsel-nya, seorang perempuan cantik yang sedang menggendong bayi dan jelas itu bukanlah Ibu. Nakula pun sama terluka-nya, laki-laki yang hanya besar badan-nya itu pun masih bersembunyi di balik masa lalu-nya.

"Jani, kenapa kamu bertanya seperti itu?"

Nakula menatap ku, kini tatapan-nya menyiratkan rasa khawatir yang lebih dalam.

"Mas, semalam aku bermimpi."
"Mimpi apa itu?"
"Aku berada di sebuah rumah yang sangat besar namun aku tidak terlalu ingat bagaimana bentuk-nya, ada seseorang yang mengajak ku mengobrol dan dia meminta ku untuk mencari seseorang."

Mendengar perkataan ku barusan, ada lekukan ekspresi Nakula yang berubah. Menegang. Dia membetulkan posisi duduk-nya, secara tak sadar memberikan tanda bahwa cerita mimpi ku tadi membuat-nya penasaran.

"Ceritakan lebih banyak, Jani."
"Aku tidak begitu mengingat siapa orang itu dan bagaimana kondisi rumah besar itu. Apakah hal ini ada hubungan-nya dengan masa lalu Ibu?"

Nakula menghela nafas,

"Mas, aku mohon. Sampai kapan kalian mau membiarkan ku seperti orang bodoh seperti ini? Bukankah aku anak Ibu? Kenapa hanya aku yang tidak boleh mengetahui rahasia besar yang selalu kalian tutup-tutupi itu? Apakah salah jika sebagai seorang anak aku ingin mengetahui asal usul orang tua ku dan diri ku sendiri?"

Aku kembali meneteskan air mata. Entah berapa kali aku memohon pada orang-orang ini hanya untuk mengetahui cerita masa muda Ibu ku sendiri. Sampai aku kebingungan, apakah ini hal yang normal untuk dilakukan oleh seorang anak hanya karena dia ingin sekali mengetahui rahasia orang tua-nya? Adakah anak di luar sana yang melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan ini?

Seluruh pemberontakan, seluruh makian, seluruh kutukan yang bahkan harus ku keluarkan hingga membuat beberapa orang merasa sakit hati ketika melihat dan mendengar-nya, apa semua ini normal untuk dilakukan?

"Aku hanya ingin mengetahui satu kasus namun kalian semua mempersulit ini dan menyiksa hidup ku, jika kalian mengatakan-nya dari awal mungkin semua ini tidak akan terjadi kan, Mas?"
"Perkataan siapa itu, Jani? Lalu kamu berharap apa jika kamu sudah mendengar kebenaran-nya?"

Aku menggeleng, seperti kata ku, aku hanya ingin mengetahui-nya.

"Kamu akan terluka. Ibu pun akan sama terluka-nya. Mungkin kamu menganggap ini adalah hal yang remeh untuk dibicarakan sembari duduk dan minum kopi seperti yang biasa kamu lakukan bersama dengan Ibu tapi bagaimana dengan perasaan Ibu? Ibu tidak memiliki pendapat yang sama soal hal ini."

Nakula menggenggam tangan ku yang dibiarkan terkulai di atas meja,

"Jani, kamu dan Ibu hanya sedang tersesat di komunikasi. Jani mau tidak bersabar sedikit dan mengajak Ibu mengobrol baik-baik?"

Aku mengusap air mata ku dengan tangan yang lain,

"Mas tahu, Jani sudah berusaha sejak dulu untuk membicarakan topik ini dengan Ibu tapi seperti yang mas katakan, Ibu pasti membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa mengatakan-nya pada mu."
"Sampai kapan, mas?"

Nakula tersenyum pada ku, menggoyangkan tangan ku yang sedang dia genggam.

"Sampai Ibu yakin kalau kamu sudah cukup kuat untuk mendengar-nya, Jani mau tunggu ya?"

Aku kan selalu menunggu. 20 tahun sudah aku menunggu, lalu itu cukup lama untuk mereka? Tapi aku bisa apa? Nakula pun ada benar-nya. Jika terus-terusan berinteraksi dengan ego ku yang tak kunjung kelar, mungkin semua-nya akan menjadi berantakan.

"Katakan pada ku, mas, sebenarnya apa yang harus aku lakukan?"

Nakula menghela nafas, menarik sekotak tisu dan menyodorkan-nya pada ku.

"Satu hal yang mas tahu tentang mimpi itu kemungkinan bukanlah sebuah pertanda baik, jika mas berkata bahwa itu hanya bunga mimpi apakah Jani akan percaya?"

Aku menggeleng, membuang ingus dengan dua lembar tisu yang sudah ku ambil. 

"Ini bukan mimpi aneh pertama yang Jani alami bukan?"

Aku sempat terdiam sebentar sebelum mengangguk. Terkejut. Aku tidak pernah bercerita pada siapapun jika aku sering bermimpi aneh.

"Aku sering bermimpi soal memori masa kecil namun aku melihat-nya dari sisi Ibu."

Nakula mengangguk mendengar penjelasan ku. "Pasti lelah sekali kan saat terbangung setelah bermimpi hal-hal seperti itu?"

Nakula tahu sesuatu.

Semua yang Nakula tanyakan adalah kebenaran. Aku merasakan semua-nya. Jika Nakula tidak tahu sesuatu tidak mungkin dia akan menanyakan sebuah pertanyaan yang berhasil menembak ku seperti itu.

Nakula melepas genggaman tangan. Bersandar ke kursi sembari tersenyum lembut pada ku.

"Ibu dulu juga seperti itu, Jani. Ibu sering bermimpi aneh."

Nakula tidak mengeluarkan rokok elektrik sebagai pegangan, dia mengerti bahwa rumah ini di huni oleh keluarga yang sehat. Ada anak-anak kecil yang terbebas dari asap tembakau jenis apapun karena Saujana tidak menyentuh benda tersebut sehingga Nakula pun dengan sangat sopan menghargai-nya.

"Mas tidak pernah ambil pusing. Mas hanya mengingatkan Ibu untuk tidak terlalu memikirkan mimpi-mimpi tersebut."
"Itu mimpi dengan sosok yang sama?"

Nakula berfikir sebentar lalu menggeleng,

"Dia bermimpi soal hal-hal yang menyakitkan. Ibu selalu mengeluh kelelahan setelah bermimpi seperti itu namuan secara detail, Ibu hanya menjelaskan bahwa itu adalah mimpi yang menyakitkan."

Aku merunduk. Ketakutan.

"Ada banyak hal tentang Ibu yang mungkin tidak kamu tahu dan mas pikir akan lebih baik jika seperti itu, dek."

Nakula tahu porsi-nya. Meski sedikit, Nakula berusaha membantu namun lagi-lagi tidak memecahkan apapun soal pertanyaan ku. Nakula hanya memberikan setengah keping puzzle yang tidak siap untuk dia tata, seakan untuk beberapa hal Nakula pun masih belum berani untuk mengungkapkan semuanya.

"Maka dari itu, apapun keputusan Ibu saat ini adalah sebuah keputusan yang sangat tepat demi melindungi mu."

Aku tahu. Namun melindungi ku dari apa? Memang siapa yang akan melukai ku jika aku mengetahui semuanya? 

Seperti kata Saujana, Ibu kan Ibu yang baik. Akan jauh dari kata kriminal untuk Ibu yang selalu tersenyum dan menyembunyikan semua rasa sakit-nya dihadapan ku, akan jauh dari kata kejahatan untuk Ibu yang selalu mengajari ku soal baik dan buruk-nya seisi dunia.

Meski kelam dan gelap, Ibu di masa lalu sudah puna berpuluh tahun yang lalu. Seharusnya hari ini Ibu sudah lebih bisa membiarkan hal-hal menyakitkan itu selesai ketimbang harus terus bersembunyi di tempat yang Ibu pikir bisa melindungi-nya dan juga aku.

"Suatu hari nanti, akan datang saatnya Ibu menceritakan semua hal yang selalu kamu pertanyakan ini. Pada saat itu, apa Jani berjanji tidak akan pergi meninggalkan Ibu?"

Aku mendongak untuk menatap Nakula. Sedikit marah.

"Atas dasar apa aku harus meninggalkan Ibu saat seluruh peristiwa kelam itu terungkap?"
"Jawab saja, Rinjani."

Saat Nakula memanggil nama lahir ku, aku yakin pria itu tidak sedang bercanda. Tidak sedang melemparkan pertanyaan humor yang bisa ku lempar balik dengan sengaja.

"Aku tidak akan pernah meninggalkan Ibu. Mas Saujana sudah menceritakan saat-saat dimana dia mengetahui Ibu berbadan dua, Ibu sehancur itu Mas. Lalu bagian mana lagi yang bisa membuat ku tega untuk meninggalkan Ibu sendirian?"

Setetes air mata kembali jatuh.

"Ibu sudah cukup kesepian, mas."

Suara ku gemetar cukup parau. Tangisan kali ini bukan lagi tangisan amarah yang menyebalkan. Namun sebuah tangisan kelelahan.

"Ibu hanya punya aku tapi kenapa beliau tidak bisa bersandar dan menangis di bahu ku? Kenapa hanya pada ku Ibu harus terus-menerus berperan kokoh sebagai sosok Ibu yang baik? Dengan menangis dan mengeluh kelelahan di hadapan ku pun tidak menjadikan Ibu sebagai Ibu yang buruk, kok."

Nakula hanya diam menatap ku. Obrolah kali ini lebih seperti curhatan hati ke hati. Nakula tidak berusaha membela, tidak menepis, tidak menunjuk ku soal kalimat demi kalimat yang baru saja ku ucapkan.

"Aku juga, sudah berusaha menjadi anak yang baik. Aku diam dan tidak pernah bertanya selama hampir 20 tahun pun dengan alasan tidak ingin perduli soal siapa ayah ku sebenarnya. Tapi aku akan semakin dewasa, mas."

Aku mengaitkan jari-jari tangan. Menggenggam seakan habis sudah doa-doa hari itu.

"Aku harus jelaskan apa jika ada orang-orang yang ku sayang bertanya soal keluarga ku? Aku hanya ingin kejelasan."

Nakula mengusap singkat kepalan tangan ku diatas meja, mengangguk.

"Ibu akan cerita. Sebentar lagi, Ibu pasti akan cerita sedikit demi sedikit dan saat hari itu tiba tolong jangan berkomentar apapun."

Saat itu, Saujana mungkin hanya bisa bersembunyi di belakang dinding pembatas antara ruang keluarga dan dapur. Mendengarkan obrolan ku dan Nakula dalam diam, berusaha untuk tidak mengganggu. Aku menyadari Saujana berdiri disana sedari awal obrolan ini karena saat Nakula bangkit mengambil air minum, aku bisa melihat bayangan Saujana yang berdiri kaku ditembak ke arah dalam dapur.

Saujana pasti khawatir. Saujana dan Nakula pasti sudah mengobrol banyak, ada begitu banyak hal yang mereka berdua diskusikan tentang aku dan Ibu. Pikiran liar itu membuat hati ku sesak. Karena bukan hanya Nakula tapi Saujana pun ikut andil dalam melindungi rahasia yang berusaha Ibu tutupi.

Bukan hanya Nakula tapi Saujana pun ikut bergerak dan berkata mengikuti perintah Ibu. Salah bertindak sedikit maka aku yakin tidak akan ada lagi kata kebebasan dalam hidup ku, seluruhnya akan Ibu renggut demi menutupi semua aib yang sudah beliau lakukan.


Komentar

Postingan Populer